Surah Al-Qadr (Surah ke-97 dalam Al-Qur'an) adalah salah satu surah pendek namun memiliki kedalaman makna yang luar biasa. Surah ini secara khusus membahas tentang Malam Lailatul Qadr, malam yang lebih mulia daripada seribu bulan. Kemuliaan malam ini terletak pada diturunkannya Al-Qur'an sebagai petunjuk bagi umat manusia.
Seluruh ayat dalam surah ini menyoroti keagungan waktu tersebut. Namun, dua ayat terakhir, yaitu ayat 4 dan 5, memberikan gambaran konkret mengenai peristiwa yang terjadi pada malam tersebut dan dampaknya yang abadi. Memahami kedua ayat ini membantu kita mengapresiasi betapa pentingnya mencari keberkahan di malam yang penuh misteri dan rahmat ini.
Dua ayat penutup surah ini memberikan kesimpulan sekaligus janji ilahi bagi hamba-hamba-Nya yang beribadah di malam tersebut:
Ayat keempat adalah inti dari keajaiban Lailatul Qadr. Kata "Tanazzalu" (turun) menunjukkan pergerakan turunnya makhluk-makhluk mulia dari langit ke bumi. Yang turun bukan hanya malaikat biasa, tetapi juga "Ar-Ruh", yang menurut mayoritas ulama tafsir merujuk kepada Malaikat Jibril, pembawa wahyu.
Kedatangan mereka bersamaan dengan penurunan Al-Qur'an secara keseluruhan ke langit dunia pada malam itu. Namun, keberkahan mereka tidak berhenti di situ. Mereka turun dengan membawa "Min kulli Amr" (segala urusan). Para mufassir menafsirkan ini sebagai ketetapan rezeki, ajal, kemuliaan, dan setiap perkara penting yang telah Allah putuskan untuk terjadi sepanjang tahun ke depan. Kehadiran para malaikat ini menciptakan atmosfer spiritual yang luar biasa padat dan berlimpah rahmat. Bumi dipenuhi oleh makhluk suci yang memohonkan ampunan dan mendoakan keberkahan bagi orang-orang yang beriman.
Ayat kelima menutup rangkaian penjelasan dengan sebuah kesimpulan yang menenangkan: "Salamun hiya hatta matla'il fajr" (Malam itu penuh kesejahteraan hingga terbit fajar). Kata "Salam" (kesejahteraan/kedamaian) memiliki makna yang sangat luas.
Ini berarti Lailatul Qadr adalah malam yang terbebas dari segala bentuk keburukan, bencana, dan permusuhan. Di dalamnya, tidak ada perintah negatif, tidak ada godaan yang menyesatkan, melainkan hanya kebaikan, ketenangan batin, dan pengampunan. Kedamaian ini berlaku sejak malam tiba hingga batas waktu berakhirnya malam itu, yaitu saat fajar menyingsing.
Bagi seorang mukmin, malam ini adalah kesempatan emas untuk mendapatkan ketenangan spiritual sejati. Ibadah yang dilakukan di malam penuh kedamaian ini dinilai setara dengan beribadah selama lebih dari 83 tahun. Inilah sebabnya mengapa umat Islam berlomba-lomba menghidupkan sepuluh malam terakhir Ramadhan, berharap dapat menangkap momen agung di mana rahmat Allah mengalir deras bersama para malaikat.
Memahami ayat 4 dan 5 memberikan motivasi kuat. Ayat 4 menekankan bahwa malam ini adalah malam yang sangat sibuk di alam gaib; malaikat dan Jibril turun membawa keputusan ilahi. Tugas kita sebagai manusia adalah menyambut kehadiran mereka dengan ketaatan. Ini berarti kita harus memaksimalkan waktu dengan salat, membaca Al-Qur'an, zikir, dan berdoa.
Ayat 5 memberikan kepastian bahwa semua usaha tersebut akan berada dalam naungan kedamaian. Tidak ada kegelisahan dalam beribadah pada malam itu; setiap tetes keringat dan air mata adalah investasi keberkahan. Oleh karena itu, setelah fajar terbit, keberkahan yang diturunkan—yaitu ketetapan baik Allah—akan mulai terealisasi dalam kehidupan seorang hamba sepanjang tahun berikutnya. Lailatul Qadr adalah jembatan antara ketetapan ilahi di langit dan implementasinya di bumi, yang hanya dapat kita raih dengan keikhlasan dan ketaatan saat malam itu tiba.