Peran Sentral Dewi Sri dalam Budaya Bali

Dewi Sri, atau yang sering disebut 'Ibu Pertiwi' dalam konteks pertanian di Bali, adalah dewi yang memegang peranan sentral dan sakral dalam kehidupan masyarakat Hindu Dharma di Pulau Dewata. Kepercayaan ini jauh melampaui sekadar pemujaan; Dewi Sri adalah personifikasi dari Dewi Kemakmuran, Kesuburan, dan Padi, sumber utama kehidupan agraris Bali. Tanpa penghormatan yang tulus kepada beliau, masyarakat Bali meyakini bahwa panen akan gagal dan kesejahteraan akan menjauh.

Budaya Bali yang sangat erat kaitannya dengan sistem irigasi Subak, secara filosofis terpusat pada pemujaan terhadap Dewi Sri. Subak bukan hanya sekadar sistem pengairan teknis, tetapi merupakan manifestasi nyata dari filosofi Tri Hita Karana—keseimbangan antara hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama, dan manusia dengan alam. Dewi Sri menjadi jembatan penghubung antara manusia (petani) dengan alam (sawah) dan Tuhan (manifestasi kesuburan).

Ritual dan Pemujaan Sepanjang Tahun

Pemujaan terhadap Dewi Sri dilakukan secara intensif sepanjang siklus tanam padi. Ritual-ritual ini dirancang untuk memohon berkah agar benih tumbuh subur, terhindar dari hama penyakit, dan menghasilkan panen yang melimpah. Salah satu ritual paling mendasar adalah ketika benih hendak ditanam. Petani seringkali membawa sesajen sederhana ke tengah sawah sebagai penghormatan awal kepada sang Dewi.

Puncak dari pemujaan ini terlihat jelas saat masa panen. Sebelum padi pertama dipotong, diadakan upacara khusus yang disebut 'Ngaben Padi' atau ritual pemujaan padi. Padi yang baru dipanen tidak langsung dibawa ke lumbung, melainkan diperlakukan layaknya dewa yang harus disucikan terlebih dahulu. Persembahan khusus diletakkan di lumbung padi (disebut Palinggih atau Griya) sebagai ucapan terima kasih dan permohonan agar Dewi Sri berkenan tinggal dan menjaga hasil panen tersebut hingga musim tanam berikutnya.

Pentingnya sosok ini juga tercermin dalam arsitektur spiritual. Banyak pura di pedesaan memiliki palinggih khusus untuk Dewi Sri, tempat di mana sesajen rutin dipersembahkan, khususnya pada hari-hari baik menurut kalender Pawukon Bali. Hal ini menegaskan bahwa keberlangsungan hidup komunitas sangat bergantung pada harmoni yang dijaga oleh sang Dewi.

Dewi Sri dalam Mitologi dan Seni

Dalam mitologi Hindu Bali, Dewi Sri seringkali disamakan atau diasosiasikan dengan beberapa dewi agraris India seperti Lakshmi, dewi kemakmuran dan kekayaan. Visualisasinya umumnya menampilkan sosok wanita cantik yang memegang tangkai padi emas atau mangkuk berisi biji-bijian, melambangkan kelimpahan materiil dan spiritual. Namun, di Bali, representasinya lebih menyentuh aspek kesuburan alam yang menopang kehidupan sehari-hari.

Warisan Dewi Sri tidak hanya terbatas pada ritual sawah. Ia juga muncul dalam seni ukir, tari, dan sastra Bali. Dalam pertunjukan seni tradisional, penggambaran Dewi Sri seringkali digunakan untuk menceritakan kisah tentang asal-usul pertanian atau sebagai doa agar seni dan budaya yang dihasilkan masyarakat juga 'subur' dan lestari.

Melestarikan pemujaan terhadap Dewi Sri berarti menjaga kearifan lokal tentang bagaimana mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan. Di tengah modernisasi yang pesat, masyarakat Bali terus berupaya keras menjaga ritual-ritual ini, menyadari bahwa hubungan mereka dengan Dewi Sri adalah kunci utama bagi keberlangsungan ekosistem sawah terasering yang ikonik dan kehidupan spiritual mereka yang kaya. Pengabdian ini memastikan bahwa harmoni antara manusia dan alam—yang diwakili oleh Dewi Sri—tetap terjaga untuk generasi yang akan datang.