"Maka berjalanlah keduanya hingga ketika keduanya sampai kepada penduduk sebuah desa, mereka meminta makanan kepada penduduk desa itu, tetapi penduduk desa itu menolak untuk menjamu mereka. Kemudian keduanya menemukan di sana dinding yang hampir roboh, lalu orang (Al-Khidr) itu menegakkannya. Musa berkata: 'Jika engkau mau, niscaya kamu dapat meminta upah untuk itu kepada mereka.'"
Ayat 77 dari Surat Al-Kahfi ini merupakan kelanjutan narasi dari kisah pertemuan antara Nabi Musa AS dengan hamba Allah yang saleh, yang dikenal sebagai Al-Khidr. Setelah peristiwa perahu yang dilubangi (Ayat 71), mereka melanjutkan perjalanan darat. Perjalanan ini bukan sekadar perpindahan fisik, melainkan sebuah proses pendidikan spiritual yang mendalam bagi Nabi Musa.
Titik penting dalam ayat ini adalah ketika keduanya tiba di sebuah desa. Dalam kondisi kelelahan dan lapar, mereka mencari keramahan, namun realitas sosial yang mereka hadapi sangat kontras dengan harapan. Penduduk desa tersebut, yang digambarkan sebagai kaum yang kikir atau mungkin keras hati, menolak permintaan mereka untuk dijamu (makanan). Penolakan ini menunjukkan bahwa kebaikan hati sering kali tidak ditemukan pada orang-orang yang memiliki kemampuan untuk menolong.
Setelah ditolak kebutuhan dasarnya, Allah SWT menguji kesabaran Musa dengan mukjizat berikutnya yang dilakukan oleh Al-Khidr. Mereka menemukan sebuah dinding yang hampir roboh. Dinding ini, yang berada dalam kondisi hampir runtuh, secara naluriah akan dibiarkan saja oleh orang awam, apalagi oleh dua musafir yang lelah.
Namun, Al-Khidr bertindak di luar kebiasaan. Dengan kekuasaan ilahiah yang diberikan kepadanya, ia menegakkan kembali dinding tersebut. Tindakan ini adalah bentuk rahmat yang tersembunyi. Musa, yang masih terikat pada logika duniawi dan hukum sebab-akibat yang berlaku di antara manusia, langsung bereaksi. Ia menganggap bahwa menolong orang lain, meski tindakan mulia, seyogianya mendapatkan kompensasi. Musa berkata, "Jika engkau mau, niscaya kamu dapat meminta upah untuk itu kepada mereka."
Reaksi Nabi Musa ini sangat manusiawi. Ia melihat sebuah pekerjaan yang membutuhkan energi dan waktu, sehingga wajar jika meminta balasan materi. Reaksi ini menjadi jembatan bagi Al-Khidr untuk memberikan pelajaran penting mengenai hakikat pertolongan yang tulus dan hikmah di balik perbuatan tanpa pamrih.
Ayat ini mengajarkan beberapa poin krusial. Pertama, ujian kesabaran. Musa dan Al-Khidr dihadapkan pada kekikiran penduduk desa, sebuah ujian kesabaran sosial sebelum ujian ilmu pengetahuan. Kedua, keikhlasan dalam beramal. Al-Khidr menegakkan dinding tersebut semata-mata karena perintah dan rahmat Allah, bukan karena mengharapkan pujian atau bayaran dari orang-orang yang bahkan enggan memberi mereka minum.
Pelajaran ini menegaskan bahwa ada amal kebajikan yang harus dilakukan tanpa mengharapkan imbalan duniawi, terutama jika amal tersebut dilakukan atas dasar ketetapan Ilahi. Tindakan Al-Khidr membuktikan bahwa nilai suatu perbuatan tidak diukur dari seberapa besar imbalan yang didapat, melainkan dari kemaslahatan (kebaikan) tersembunyi yang terkandung di dalamnya. Rezeki dan balasan sejati datang dari Sang Pencipta, bukan dari apresiasi makhluk yang sering kali lalai dan kikir. Kisah ini mengajak kita merenungkan kembali motif di balik setiap kebaikan yang kita lakukan sehari-hari.
Surat Al-Kahfi secara keseluruhan mengingatkan bahwa pandangan manusia sering kali terbatas pada permukaan (lahiriah), sedangkan hikmah Allah menjangkau kedalaman (batiniah). Penolakan penduduk desa dan perbaikan dinding oleh Al-Khidr adalah dua sisi mata uang yang hanya bisa dipahami maknanya setelah Al-Khidr menjelaskan hikmah di balik kedua peristiwa tersebut pada ayat-ayat berikutnya.