Kekuatan Sumpah dan Perbedaan Jalan Hidup
Surah Al-Lail, yang berarti "Malam", merupakan salah satu surah pendek namun kaya akan makna filosofis dan peringatan Ilahi. Ayat 1 hingga 10 secara khusus dibuka dengan serangkaian sumpah Allah SWT untuk menegaskan pentingnya tema yang akan diangkat, yaitu perbedaan jalan hidup manusia berdasarkan pilihan dan amal perbuatan mereka.
Pembukaan surah ini sangat kuat, menggunakan fenomena alam yang menjadi saksi atas kebenaran janji dan peringatan Allah. Sumpah-sumpah ini bukan sembarang sumpah, melainkan penegasan mutlak dari Sang Pencipta:
Sumpah Allah meliputi waktu (malam dan siang) dan ciptaan-Nya (laki-laki dan perempuan). Malam yang menutupi kegelapan dan siang yang menampakkan cahaya melambangkan dualitas dan perubahan dalam kehidupan. Sumpah ini berpuncak pada penegasan bahwa usaha (sa'i) manusia di dunia ini memiliki hasil dan orientasi yang sangat beragam.
Setelah menetapkan bahwa usaha manusia itu beragam, Allah SWT kemudian merinci dua kategori utama dari usaha tersebut: jalan orang yang mendermakan hartanya di jalan Allah dan jalan orang yang kikir. Ayat 5 hingga 10 adalah fokus utama yang membedakan kedua jalan ini:
Ayat 5-7 menjelaskan jalan pertama. Jalan ini dicirikan oleh tiga sifat: memberi (infak), bertakwa (menjaga diri dari larangan Allah), dan membenarkan janji Allah (yaitu surga). Hasil dari jalan ini adalah janji kemudahan di dunia dan akhirat, dipermudah menuju kebaikan.
Sebaliknya, ayat 8-10 menggambarkan jalan kedua yang merupakan kebalikan dari yang pertama. Karakteristiknya adalah kikir (menahan harta), merasa cukup (kesombongan spiritual), dan mendustakan balasan terbaik (tidak percaya pada hari kiamat dan pahala). Konsekuensinya adalah kemudahan diarahkan kepada kesulitan; kemudahan untuk berbuat maksiat dan kesukaran untuk mencapai kebaikan.
Sepuluh ayat pertama Surah Al-Lail memberikan landasan fundamental dalam teologi Islam. Pertama, Allah SWT adalah penguasa segala sesuatu, yang kemahakuasaannya terbukti melalui pergantian siang dan malam.
Kedua, prinsip reward and punishment (ganjaran dan hukuman) ditegaskan secara jelas. Nasib akhir seseorang di akhirat—apakah menuju kenikmatan abadi (Al-Yusra) atau kesulitan abadi (Al-Ushra)—bukan ditentukan oleh takdir buta, melainkan hasil langsung dari pilihan sadar dan tindakan konkret (infak, takwa, kesyukuran, atau kekikiran dan pengingkaran) yang dilakukan selama hidup di dunia.
Ayat-ayat ini berfungsi sebagai motivasi kuat bagi seorang Muslim untuk mengevaluasi prioritas hidupnya. Apakah harta yang dimiliki hanya ditimbun karena merasa cukup dan takut kehilangan, ataukah ia dijadikan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah dan menolong sesama, yang pada akhirnya menjamin kemudahan di perjalanan panjang menuju akhirat?