Visualisasi kesatuan dan keunikan zat yang disembah.
Surat Al-Ikhlas (secara harfiah berarti "Pemurnian Iman") adalah salah satu surat terpendek dalam Al-Qur'an, namun memiliki kedalaman makna yang tak terhingga. Terdiri hanya dari empat ayat, surat ini memuat inti ajaran Islam yang paling fundamental, yaitu konsep Tauhid—keesaan Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda bahwa membacanya setara dengan sepertiga Al-Qur'an, sebuah penegasan akan signifikansi spiritual dan teologisnya. Surat ini turun sebagai jawaban langsung terhadap permintaan kaum musyrikin Mekah yang menanyakan tentang nasab (silsilah) dan sifat Tuhan yang mereka sembah.
Berikut adalah lafal (teks) Arab dari Surat Al-Ikhlas beserta terjemahannya dalam bahasa Indonesia:
Terjemahan:
"Katakanlah: 'Dialah Allah, Yang Maha Esa.'" Ayat pertama ini langsung menetapkan pondasi Tauhid. Kata "Ahad" (Maha Esa) memiliki makna yang lebih absolut dibandingkan kata "Wahid" (satu). "Wahid" bisa berarti satu dalam jenisnya (seperti ada satu raja di satu kerajaan), sementara "Ahad" berarti tunggal secara hakiki, tidak ada duanya, tidak terbagi, dan tidak ada sekutu. Ini menolak segala bentuk politeisme (syirik).
"Allah adalah Ash-Shamad." Ash-Shamad adalah salah satu nama terindah Allah. Mayoritas ulama menafsirkan Ash-Shamad sebagai Zat yang kepadanya semua makhluk bergantung, sementara Dia sendiri tidak bergantung kepada siapapun. Dia adalah tujuan akhir dari segala kebutuhan dan permohonan. Berbeda dengan makhluk yang membutuhkan makanan, minuman, tempat berlindung, atau pertolongan, Allah adalah sumber segalanya yang sempurna tanpa memerlukan apapun dari ciptaan-Nya. Ini menyingkap kemandirian Allah yang absolut.
"Dia tidak beranak dan tiada pula diperanakkan." Ayat ini secara tegas menolak dua kekeliruan besar yang dilakukan oleh sebagian umat terdahulu. Pertama, penolakan terhadap klaim bahwa Allah memiliki anak (seperti yang diyakini sebagian Yahudi dan Nasrani). Kedua, penolakan terhadap klaim bahwa Allah dilahirkan dari sesuatu (yang mengimplikasikan bahwa Allah memiliki sebab atau permulaan). Allah adalah Azali (tanpa awal) dan Abadi (tanpa akhir). Keterbatasan seperti melahirkan atau dilahirkan adalah sifat makhluk, bukan sifat Sang Pencipta.
"Dan tidak ada seorang pun yang menyamai Dia." Ini adalah kesimpulan logis dari tiga ayat sebelumnya. Jika Dia Maha Esa, bergantung kepada-Nya semua makhluk, dan tidak memiliki sebab keberadaan, maka secara otomatis tidak ada satupun entitas yang bisa disejajarkan atau disamakan dengan-Nya dalam zat, sifat, maupun perbuatan. Penegasan ini menutup semua celah pemahaman yang mungkin menduplikasi atau mengurangi keagungan-Nya.
Keutamaan surat ini sangat besar, sebagaimana disebutkan dalam berbagai hadis sahih. Salah satu yang paling masyhur adalah sabda Rasulullah SAW bahwa membacanya tiga kali setara dengan membaca seluruh Al-Qur'an. Meskipun kedengarannya kontradiktif karena Al-Qur'an memiliki 114 surat, para ulama menjelaskan bahwa ini merujuk pada substansi inti. Al-Qur'an secara keseluruhan berbicara tentang Tauhid, risalah, hari akhir, dan syariat. Al-Ikhlas memuat esensi Tauhid secara murni dalam empat ayat singkat.
Selain itu, surat ini juga menjadi pelindung spiritual. Diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW sering membacanya bersama Al-Falaq dan An-Nas sebagai ruqyah (penjagaan) dari kejahatan. Memahami makna Al-Ikhlas akan meningkatkan kualitas ibadah seseorang, karena shalat dan doa yang didasari oleh pemahaman Tauhid yang murni akan lebih bermakna di hadapan Allah SWT. Surat ini mengajarkan kita untuk mencintai dan menyembah Allah bukan karena rahmat yang kita harapkan, tetapi semata-mata karena keagungan dan kesempurnaan-Nya yang mutlak.