Surah Al-Kahfi, surat ke-18 dalam Al-Qur'an, menyimpan banyak kisah penuh hikmah, salah satunya adalah perjalanan spiritual Nabi Musa AS bersama hamba Allah yang saleh, Khidr AS. Ayat 62 dari surat ini menjadi titik balik penting dalam narasi tersebut, menyoroti perbedaan perspektif dan batas ilmu pengetahuan manusia.
"Maka tatkala mereka sampai di tempat pertemuan antara keduanya, (Nabi Musa) melupakan ikannya, lalu ikan itu melompat ke laut dan hilang." (QS. Al-Kahfi: 62)
Ayat 62 ini menceritakan momen krusial ketika Nabi Musa dan muridnya, Yusa' bin Nun, tiba di titik yang dijanjikan sebagai tempat pertemuan dengan Khidr. Musa telah diperingatkan oleh Khidr bahwa ia harus bersabar dan tidak boleh menanyakan apa pun yang tidak ia pahami hingga Khidr sendiri yang menjelaskannya. Ironisnya, pada titik inilah Musa lupa akan pesan penting tersebut, yang juga merupakan tanda bagi mereka untuk melanjutkan perjalanan.
Lupa adalah sifat alami manusia. Bahkan seorang Nabi Ulul Azmi seperti Musa AS pun dapat mengalami kelupaan. Ikan asin yang mereka bawa sebagai bekal, yang ternyata hidup kembali dan kembali ke laut, berfungsi sebagai penanda visual yang secara tak terduga hilang dari pandangan mereka. Kelupaan ini bukan sekadar kecerobohan kecil; ia adalah bagian dari skenario ilahi yang akan membuka babak baru dalam pembelajaran Musa.
Ayat 62 ini mengajarkan kita bahwa pengetahuan yang dimiliki manusia sangat terbatas, bahkan jika kita adalah seorang Nabi. Musa AS, yang dikenal karena keteguhan imannya dan diberi gelar Kalimullah (orang yang diajak bicara langsung oleh Allah), tetap membutuhkan bimbingan lebih lanjut dari Khidr, seorang hamba Allah yang dianugerahi ilmu laduni (ilmu dari sisi Allah) yang tidak dapat diakses melalui cara belajar biasa.
Kelupaan Musa atas ikannya adalah momen yang diperlukan untuk memicu pertanyaan dan memulai dialog mendalam dengan Khidr. Jika Musa tidak lupa, pertemuan dengan Khidr tidak akan dimulai dengan cara yang telah digariskan Allah SWT. Ini menegaskan prinsip fundamental dalam Islam: ada perkara yang kebijaksanaannya tidak dapat kita pahami secara instan. Apa yang tampak sebagai kehilangan atau kegagalan (seperti hilangnya ikan) bisa jadi adalah awal dari rahmat atau pelajaran yang jauh lebih besar.
Kisah ini secara konsisten menyoroti batasan logika dan pandangan jangka pendek manusia. Ketika Musa melihat Khidr melubangi perahu, membunuh seorang anak muda, dan memperbaiki dinding yang hampir roboh tanpa meminta bayaran, naluri manusiawinya menuntut penjelasan segera. Namun, setiap tindakan tersebut, yang di mata Musa terlihat buruk atau keliru, ternyata mengandung kebaikan tersembunyi yang hanya dapat dilihat melalui lensa ilmu Allah yang komprehensif.
Ayat 62 adalah gerbang menuju pemahaman bahwa ada kebijaksanaan di balik setiap peristiwa. Ketika kita dihadapkan pada kejadian yang tidak kita sukai, kita diingatkan untuk menahan diri dari penghakiman tergesa-gesa, sebagaimana Musa diperingatkan. Kesabaran dalam menanti penjelasan atau penerimaan terhadap kehendak takdir adalah bentuk tertinggi dari tawakal setelah usaha telah dilakukan.
Dengan merenungkan Surah Al-Kahfi ayat 62, kita diajak untuk introspeksi diri mengenai sifat mudah menghakimi dan pentingnya kerendahan hati dalam menuntut ilmu. Perjalanan Musa adalah peta jalan bagi setiap pencari kebenaran: bahwa pencarian ilmu yang hakiki seringkali menuntut kita untuk melampaui apa yang kita ketahui, bahkan jika itu berarti harus 'melupakan' sejenak kenyamanan pemahaman kita saat ini.