Surah Al-Kahfi, yang berarti "Gua", adalah salah satu surat pelindung dalam Al-Qur'an. Secara keseluruhan, surat ini mengajarkan tentang ujian (fitnah) dunia, pentingnya iman, kesabaran, dan selalu menyandarkan segala urusan kepada Allah SWT. Ayat 100, khususnya, memberikan peringatan keras namun penuh pelajaran bagi mereka yang berpaling dari kebenaran.
Ayat ini sering kali dibaca bersamaan dengan ayat-ayat sebelumnya yang membahas nasib orang-orang kafir yang menolak beriman. Ia berfungsi sebagai penutup narasi tegas mengenai konsekuensi dari kesombongan intelektual dan penolakan terhadap ayat-ayat Allah.
Meskipun teks Al-Qur'an memiliki banyak versi penafsiran terkait ayat spesifik dalam rangkaian ini, makna universal dari Surah Al-Kahfi, terutama di sekitar ayat 100, berpusat pada bahaya kesombongan (istikbar) dan menolak kebenaran yang dibawa oleh wahyu.
Kisah Iblis yang enggan bersujud adalah representasi sempurna dari kesombongan. Iblis merasa dirinya lebih mulia karena diciptakan dari api, sementara Adam dari tanah. Dalam konteks modern, ini diterjemahkan menjadi kesombongan intelektual—merasa lebih tahu, lebih benar, dan menolak petunjuk ilahi hanya karena bertentangan dengan asumsi atau logika duniawi semata.
Perintah sujud adalah perintah langsung dari Allah SWT. Ketaatan sejati tidak memerlukan rasionalisasi yang membanding-bandingkan asal-usul atau status. Ketika Allah memerintahkan, seorang mukmin harus patuh. Kegagalan untuk taat, seperti yang dilakukan Iblis, menghasilkan pengusiran dari rahmat-Nya.
Ayat ini mengingatkan bahwa keputusan sesaat untuk menolak kebenaran akan membawa konsekuensi abadi. Kesombongan Iblis bukan hanya membuatnya kehilangan posisinya saat itu, tetapi juga membuatnya menjadi musuh abadi bagi manusia. Ini adalah peringatan keras bagi umat Islam agar tidak meremehkan dosa kecil yang berakar pada kesombongan hati.
Surah Al-Kahfi mengajarkan kita untuk menyeimbangkan antara berpegang teguh pada akidah (iman) dan mengaplikasikannya dalam amal nyata (yaitu, bersujud/patuh). Tanpa amal yang didasari oleh ketaatan murni, keimanan hanya tinggal klaim kosong.
Membaca Surah Al-Kahfi, termasuk ayat 100, setiap Jumat atau saat membutuhkan petunjuk, bukan hanya ritual, tetapi sarana introspeksi. Kita harus senantiasa memeriksa diri: Apakah ada kesombongan tersembunyi yang membuat kita malas beribadah? Apakah kita cenderung menolak kebenaran agama hanya karena tidak sesuai dengan tren atau pemikiran populer?
Melawan fitnah Dajjal (yang dibahas dalam bagian akhir Al-Kahfi) dimulai dari melawan fitnah kecil di dalam diri, yaitu kesombongan dan keengganan untuk tunduk sepenuhnya kepada kehendak Ilahi. Dengan memahami ayat ini, kita diingatkan bahwa jalan petunjuk Allah selalu memerlukan kerendahan hati yang total.