Adzan adalah seruan mulia yang mengumumkan tibanya waktu shalat fardhu. Lebih dari sekadar penanda waktu, adzan memiliki tata cara dan etika (sunnah) yang dianjurkan oleh Rasulullah SAW agar nilai spiritual dan formalitasnya terjaga. Memahami sunnah adzan bukan hanya penting bagi muadzin, tetapi juga bagi setiap Muslim yang mendengarnya.
Pelaksanaan adzan yang sesuai sunnah mencerminkan penghormatan kita terhadap syiar Islam. Dalam keseharian yang serba cepat, menjaga kekhusyukan dan tata cara ritual ibadah menjadi sangat krusial. Berikut adalah panduan mendalam mengenai sunnah-sunnah yang dianjurkan dalam pelaksanaan adzan.
1. Syarat dan Keutamaan Muadzin
Seorang muadzin yang melaksanakan adzan harus memenuhi beberapa kriteria agar adzan tersebut sah dan mendapatkan pahala yang sempurna.
Muslim dan Baligh: Adzan yang sah harus dikumandangkan oleh seorang Muslim yang sudah memasuki usia dewasa (baligh), meskipun anak kecil yang sudah mumayyiz terkadang diizinkan.
Memiliki Suara yang Baik: Meskipun tidak wajib, memiliki suara yang merdu dan lantang lebih diutamakan karena akan memudahkan pesan dakwah (waktu shalat) tersebar luas.
Adil (Terpercaya): Muadzin harus memiliki reputasi baik dan terpercaya, terutama terkait ketepatan waktu shalat.
2. Tata Cara Mengumandangkan Adzan (Sunnah Fi'liyah)
Aspek teknis pelaksanaan adzan sangat diatur dalam tuntunan Nabi. Beberapa sunnah yang harus diperhatikan ketika muadzin berdiri untuk mengumandangkan panggilan suci ini meliputi:
Posisi dan Gerakan
Menghadap Kiblat: Muadzin dianjurkan berdiri menghadap kiblat saat mengucapkan lafal adzan.
Tharwib (Menoleh): Ini adalah sunnah yang paling terkenal. Saat mengucapkan lafal "Hayya 'alas shalah" (Marilah menuju shalat), muadzin harus menoleh ke kanan. Lalu saat mengucapkan "Hayya 'alal falah" (Marilah menuju kemenangan), ia menoleh ke kiri.
Memasukkan Jari ke Telinga: Muadzin dianjurkan memasukkan kedua jari telunjuknya ke lubang telinga (atau jari lain yang menutupi telinga) saat melafalkan adzan. Ini bertujuan untuk mengeraskan dan memfokuskan suara.
Lafal dan Tempo
Tartil (Perlahan dan Jelas): Adzan harus diucapkan dengan lafal yang jelas, tidak terburu-buru, dan tidak terlalu panjang. Tempo yang terlalu cepat akan mengurangi keindahan dan pemahaman pesan.
Pengulangan Kalimat: Lafal "Allahu Akbar" di awal diucapkan empat kali, sementara lafal lain seperti "Asyhadu..." diucapkan dua kali.
Penambahan Lafal Khusus Subuh: Saat adzan Subuh, terdapat tambahan lafal "Ash-shalatu khairum minan naum" (Shalat itu lebih baik daripada tidur) sebanyak dua kali, diucapkan setelah "Hayya 'alal falah".
3. Adab Setelah Adzan
Setelah kumandang adzan selesai, terdapat beberapa amalan yang dianjurkan untuk dilakukan sebagai penutup rangkaian ibadah tersebut.
Membaca Doa Setelah Adzan: Muadzin dan orang yang mendengarnya dianjurkan membaca doa khusus setelah adzan. Doa ini berisi permohonan rahmat dan kedudukan tinggi (wasilah) untuk Nabi Muhammad SAW.
Membaca Shalawat: Disunnahkan untuk bershalawat kepada Nabi setelah membaca doa adzan.
Memohon Wasilah: Memohon agar Allah memberikan wasilah (kedudukan tertinggi di surga) kepada Rasulullah SAW.
4. Sunnah Terkait Iqamah
Setelah adzan, biasanya dilanjutkan dengan iqamah, yaitu seruan kedua untuk segera memulai shalat. Walaupun iqamah berbeda dengan adzan, ada beberapa sunnah yang menyertainya:
Tidak Berpindah Tempat Terlalu Jauh: Dianjurkan iqamah dilakukan di tempat yang sama dengan adzan.
Lafal: Lafal iqamah umumnya sama dengan adzan, namun lafal "Hayya..." diucapkan satu kali dan ditambahkan lafal "Qad qamatish shalah" (Shalat telah didirikan) dua kali.
Tidak Ada Tharwib: Dalam iqamah, muadzin tidak perlu menoleh ke kanan atau kiri, dan juga tidak perlu memasukkan jari ke telinga.
Dengan memperhatikan sunnah-sunnah adzan ini, kita tidak hanya memenuhi tuntunan syariat, tetapi juga turut serta menghidupkan syiar Islam di lingkungan kita. Adzan yang dikumandangkan dengan benar menjadi saksi bisu ketaatan umat Islam kepada panggilan shalat.