Dalam tradisi keilmuan Islam, frasa Al Alim Wa Al Muta'allim memegang peranan sentral. Frasa ini secara harfiah berarti "Orang yang Maha Mengetahui dan Orang yang Mencari Ilmu". Jika dilihat secara lebih mendalam, ungkapan ini tidak hanya merujuk pada konsep ketuhanan sebagai sumber segala pengetahuan (Al Alim), tetapi juga menekankan pentingnya peran manusia sebagai pencari aktif akan kebenaran (Al Muta'allim). Pemahaman yang seimbang antara kedua peran ini adalah kunci bagi perkembangan spiritual dan intelektual yang sejati.
Siapakah Al Alim?
Al Alim adalah salah satu dari 99 Asmaul Husna, yang menegaskan bahwa Allah SWT adalah Zat yang memiliki pengetahuan mutlak dan menyeluruh atas segala sesuatu yang tersembunyi maupun yang tampak. Pengetahuan-Nya tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Dalam konteks ini, mengakui Al Alim berarti meletakkan dasar keyakinan bahwa sumber segala ilmu, hikmah, dan kebenaran berasal dari-Nya. Setiap penemuan ilmiah, setiap kebijaksanaan filosofis, pada dasarnya adalah pancaran dari sifat Al Alim tersebut. Pengakuan ini mendorong kerendahan hati, karena menyadari bahwa ilmu manusia adalah setetes air di lautan keilmuan Ilahi.
Peran Vital Al Muta'allim
Di sisi lain, Al Muta'allim adalah posisi yang harus diemban oleh setiap muslim dan insan berakal. Menjadi seorang 'pembelajar' bukanlah status sementara, melainkan sebuah kondisi eksistensial yang berkelanjutan sepanjang hayat. Proses menjadi muta'allim menuntut disiplin, keikhlasan, dan upaya keras untuk membersihkan diri dari kebodohan dan prasangka. Seorang muta'allim harus memiliki adab (etika) yang tinggi terhadap guru, buku, lingkungan belajar, dan terutama terhadap Sang Sumber Ilmu itu sendiri. Tanpa kerendahan hati seorang pembelajar, ilmu yang diperoleh cenderung menjadi kesombongan, bukan pencerahan.
Dinamika Hubungan yang Saling Melengkapi
Interaksi antara Al Alim dan Al Muta'allim menciptakan sebuah siklus kemajuan. Ilmu yang diturunkan oleh Sang Maha Mengetahui (melalui wahyu, alam semesta, dan akal yang dianugerahkan) menjadi bekal bagi sang pencari ilmu. Ketika seorang muta'allim berhasil menyerap dan mengamalkan ilmu tersebut, ia tidak hanya memperbaiki dirinya tetapi juga ikut serta dalam menegakkan kebenaran di muka bumi. Perjalanan ini mengajarkan bahwa ilmu yang bermanfaat selalu berdampak pada perbaikan perilaku dan kemaslahatan umat.
Dalam dunia modern yang serba cepat, konsep Al Alim Wa Al Muta'allim semakin relevan. Di era banjir informasi, mudah sekali merasa tahu segalanya (menjadi 'Alim' palsu) tanpa pernah benar-benar menguasai substansi ilmu tersebut. Oleh karena itu, penekanan pada aspek muta'allim—yaitu kesediaan untuk terus menerus menguji, merevisi, dan mengakui keterbatasan pengetahuan diri—menjadi benteng pertahanan moral intelektual.
Adab Pembelajaran Abadi
Untuk benar-benar menghayati semangat Al Alim Wa Al Muta'allim, seorang pencari ilmu harus membekali diri dengan adab yang tepat. Adab ini mencakup tiga tingkatan: pertama, adab terhadap Allah (niat ikhlas semata mencari ridha-Nya), kedua, adab terhadap ilmu itu sendiri (menghormati kebenaran yang dihadapinya), dan ketiga, adab terhadap proses dan media pembelajaran (menghargai guru, waktu, dan sarana). Proses belajar yang berlandaskan adab ini memastikan bahwa pengetahuan yang didapat tidak hanya menambah wawasan, tetapi juga memurnikan jiwa sang muta'allim. Menjadi pembelajar sejati adalah proses seumur hidup untuk mendekatkan diri pada pemahaman tak terbatas milik Sang Maha Mengetahui.