Surat Al-Kafirun (atau Al-Kafirun) adalah surat ke-109 dalam urutan mushaf Al-Qur'an. Surat ini tergolong dalam golongan surat Makkiyah karena diturunkan di Mekkah sebelum Rasulullah SAW hijrah ke Madinah. Nama "Al-Kafirun" sendiri berarti "Orang-orang Kafir", dan nama ini diambil dari kata yang disebutkan di awal surat.
Surat ini memiliki keistimewaan yang sangat besar. Salah satu hadis sahih menyebutkan bahwa membaca surat Al-Kafirun setara dengan membaca seperempat Al-Qur'an. Keistimewaan ini menunjukkan pentingnya makna yang terkandung di dalamnya, yaitu penegasan prinsip tauhid dan pemisahan yang jelas (barā’ah) dari segala bentuk penyimpangan akidah dan penyembahan selain Allah SWT.
Inti dari surat ini adalah dialog tegas yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW kepada kaum musyrikin Quraisy pada masa awal dakwahnya. Mereka menawarkan kompromi: mereka akan menyembah Tuhan Nabi Muhammad selama satu hari, dan Nabi Muhammad akan menyembah tuhan-tuhan mereka pada hari lainnya. Surat Al-Kafirun adalah jawaban yang tegas, mutlak, dan tanpa kompromi mengenai prinsip keimanan. Ayat terakhir surat ini, "Lakum dinukum waliya din," (Untukmu agamamu, dan untukku agamaku), menjadi landasan penting dalam memahami toleransi versus sinkretisme agama. Toleransi dalam Islam diartikan sebagai menghargai kebebasan beragama orang lain, bukan mencampuradukkan keyakinan.
قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ
1. Katakanlah: "Hai orang-orang kafir,
لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ
2. Aku tidak menyembah apa yang kamu sembah.
وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ
3. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah.
وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ
4. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah,
وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ
5. dan kamu pun tidak akan pernah menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah.
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
6. Untukmu agamamu, dan untukku agamaku."
Surat Al-Kafirun adalah sebuah deklasari (pernyataan pemisahan) yang kokoh dalam akidah Islam. Ayat 2 hingga 5 mengulangi penegasan ini dengan struktur paralel (chiasmus) yang memperkuat maksudnya. Pengulangan ini menekankan kesungguhan dan finalitas pernyataan Nabi. Ayat kedua dan ketiga menunjukkan kondisi saat ini (ketika surat itu diwahyukan), sedangkan ayat keempat dan kelima menegaskan penolakan di masa depan, menjadikan penolakan tersebut komprehensif, baik di masa lalu, sekarang, maupun mendatang.
Ayat 1, "Hai orang-orang kafir," adalah panggilan langsung kepada kelompok yang menentang dakwah tauhid. Ini bukan penghinaan personal, melainkan penegasan status mereka berdasarkan perbuatan mereka yang menolak kebenaran.
Puncak surat ini terletak pada ayat terakhir (Ayat 6): "Lakum dinukum waliya din." Kalimat ini sering disalahpahami. Dalam konteks Arab Jahiliyah, ini adalah penolakan total terhadap usulan kompromi ibadah. Ini menegaskan prinsip bahwa ibadah (din) harus murni ditujukan kepada Allah semata, dan tidak boleh dicampuradukkan dengan ritual syirik. Ini menjamin kebebasan beragama (mereka boleh tetap dalam kekafiran mereka), namun pada saat yang sama menolak segala bentuk pencampuran doktrin (tidak ada toleransi dalam urusan ibadah inti).
Para ulama menegaskan bahwa keutamaan surat ini adalah membentengi seorang Muslim dari godaan untuk menyamakan atau mengaburkan batas antara Islam dan kekufuran. Dalam kehidupan sehari-hari, surat ini mengingatkan pentingnya integritas spiritual. Pembacaan surat Al-Kafirun, terutama sebelum tidur, diyakini oleh banyak hadis dapat menjadi pelindung dari kesyirikan, karena ia menyucikan hati dari keraguan dalam penetapan ibadah. Ini adalah benteng tauhid yang ringkas namun sangat kuat, mengajarkan umat Islam untuk berpegang teguh pada akidah mereka tanpa takut atau kompromi dengan kebatilan.