Terjemahan: "Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia."
Setelah tiga ayat sebelumnya menetapkan keesaan Allah (Tauhid Rububiyah dan Uluhiyah) serta menegaskan bahwa Allah adalah Dzat yang Maha Tunggal dan tempat bergantung segala sesuatu, ayat keempat ini berfungsi sebagai penutup sempurna yang menegaskan kemutlakan keunikan-Nya. Ayat ini secara eksplisit meniadakan segala bentuk perbandingan, penyamaan, atau perserupaan dengan Allah SWT.
Kata kunci dalam ayat ini adalah "كُفُوًا" (kufuwan), yang berarti tandingan, padanan, atau sepadan. Ketika Al-Qur'an menyatakan bahwa tidak ada yang setara dengan-Nya, ini berarti bahwa tidak ada ciptaan, tidak ada konsep pemikiran, dan tidak ada entitas apa pun yang memiliki sifat kesempurnaan yang sama dengan Allah.
Ayat ini merupakan bantahan keras terhadap segala bentuk kesyirikan (syirk), baik syirk kecil maupun besar, yang seringkali muncul dalam sejarah peradaban manusia. Kesyirikan adalah dosa terbesar karena ia menyamakan makhluk yang lemah, fana, dan membutuhkan dengan Sang Pencipta yang Maha Kuasa, Kekal, dan Maha Sempurna.
Manusia cenderung melakukan penyamaan (analogi) berdasarkan pengalaman inderawi mereka. Misalnya, jika mereka melihat seorang raja yang berkuasa, mereka mungkin membayangkan ada raja lain yang kekuatannya setara. Namun, dalam konteks keilahian, penyamaan semacam itu mustahil. Tidak ada entitas yang lahir, tidak ada yang menciptakan, dan tidak ada yang memiliki keabadian seperti Allah. Semua yang ada selain Allah adalah makhluk, dan makhluk pasti memiliki keterbatasan.
Dengan penegasan "Walam yakul lahuu kufuwan ahad," umat Islam ditekankan untuk memahami bahwa penghambaan haruslah total dan eksklusif ditujukan kepada Allah semata. Jika ada yang dianggap setara, maka status keilahian-Nya terdegradasi, dan konsekuensinya, hak untuk disembah menjadi terbagi.
Konteks historis ayat ini, sebagaimana dijelaskan dalam banyak tafsir, turun sebagai respons terhadap berbagai tuduhan kaum musyrik Mekkah yang menuduh bahwa Allah memiliki sekutu, anak, atau tandingan dalam penciptaan. Surah Al-Ikhlas, khususnya ayat keempat ini, memberikan jawaban yang tegas: Allah Maha Esa mutlak dalam segala aspek keberadaan-Nya. Tidak ada yang sebanding dalam zat, nama, sifat, maupun perbuatan-Nya.
Memahami ayat keempat ini memperkuat keikhlasan dalam beribadah. Ibadah yang dilakukan (shalat, doa, sedekah, harapan, ketakutan) harus ditujukan hanya kepada Dzat yang tidak memerlukan perantara dan tidak memiliki tandingan. Inilah inti dari Tauhid yang sejati: mengakui keunikan dan kesempurnaan Allah SWT sehingga tidak ada ruang sedikit pun untuk menyekutukan-Nya dengan apapun di alam semesta. Setiap pujian yang kita sampaikan kepada-Nya harus diyakini sebagai pujian yang layak bagi Dzat yang tidak tertandingi oleh siapa pun.