Teks Arab (Ayat ke-6 Surah Al-Kafirun):
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
Latinisasi:
Lakum diinukum wa liya diin.
Terjemahan Bahasa Indonesia:
"Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku."
Ayat keenam dari Surah Al-Kafirun (QS. Al-Kafirun: 6) merupakan penutup yang sangat kuat dan tegas dari keseluruhan surah tersebut. Surah ini secara keseluruhan adalah penetapan prinsip pemisahan keyakinan secara total antara kaum Muslimin yang memegang tauhid murni, dengan kaum musyrikin Quraisy pada masa kerasulan Nabi Muhammad SAW.
Ayat ini bukanlah seruan untuk membiarkan praktik kemusyrikan berkembang tanpa kritik, melainkan sebuah deklarasi resmi mengenai batasan yang tidak dapat dinegosiasikan dalam ranah akidah. Ketika orang-orang kafir datang kepada Nabi Muhammad SAW menawarkan kompromi—yaitu mereka akan menyembah Tuhan Nabi (Allah) selama satu hari, dan Nabi akan menyembah berhala mereka pada hari lainnya—maka turunlah surah Al-Kafirun sebagai jawaban penolakan total.
Kalimat "Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku" menunjukkan kejelasan prinsip ini. Bagi orang yang menyembah selain Allah, konsekuensi dan pertanggungjawaban dari pilihan keyakinan mereka sepenuhnya menjadi milik mereka sendiri di dunia dan akhirat. Sementara itu, bagi seorang Muslim, jalan yang dipilih adalah jalan ketauhidan yang mutlak, dan pertanggungjawabannya hanya kepada Allah SWT.
Seringkali, ayat ini disalahpahami sebagai landasan bagi sikap acuh tak acuh atau pembiaran terhadap penyimpangan keyakinan. Namun, para ulama sepakat bahwa pemahaman ini tidak tepat dalam konteks teologis Islam. Ayat ini berbicara tentang pemisahan dalam ibadah dan keyakinan inti (akidah), bukan pemisahan dalam interaksi sosial, muamalah, atau penegakan keadilan.
Islam mengajarkan toleransi dalam arti menghormati hak hidup, hak berdagang, dan hak berkeyakinan tanpa paksaan bagi non-Muslim yang hidup berdampingan secara damai. Namun, toleransi ini berhenti ketika menyangkut pengakuan atau partisipasi dalam ritual keyakinan yang bertentangan dengan dasar tauhid. Seorang Muslim tidak boleh mencampuradukkan ibadahnya (agama bagi Nabi dan pengikutnya), dan konsekuensinya ditanggung oleh masing-masing pihak (agama bagi orang kafir).
Ayat ini menegaskan kemandirian aqidah seorang Muslim. Di tengah tekanan sosial dan upaya asimilasi paksa oleh kaum Quraisy, Allah mengajarkan Nabi-Nya untuk berdiri teguh. Ini adalah pelajaran penting bahwa integritas keimanan harus dipertahankan meskipun harus menghadapi konsekuensi sosial atau penolakan mayoritas.
Dalam konteks yang lebih luas, ayat keenam Al-Kafirun mengajarkan tentang pentingnya memiliki batasan yang jelas dalam kehidupan. Dalam dunia yang semakin pluralistik, umat Islam diingatkan untuk memegang teguh prinsip mereka tanpa merasa perlu untuk 'mengurangi' atau 'memodifikasi' ajaran Islam agar sesuai dengan tren populer. Integritas iman adalah harga mati.
Ini juga menjadi pengingat bahwa setiap individu bertanggung jawab atas pilihan spiritualnya. Tidak ada jalan pintas untuk mencari keridhaan Allah dengan mengorbankan dasar-dasar utama agama. Jika orang lain memilih jalan yang berbeda, keputusan itu adalah milik mereka sepenuhnya, dan fokus kita harus tetap pada pemurnian ibadah kita sendiri sesuai petunjuk Al-Qur'an dan Sunnah.
Oleh karena itu, ayat penutup ini berfungsi sebagai manifesto spiritual: sebuah penegasan tegas bahwa ikatan seorang hamba dengan Tuhannya adalah eksklusif, murni, dan tidak dapat dibagi dengan siapapun yang menyembah selain Allah. Dengan demikian, Surah Al-Kafirun menjadi penanda pemisahan prinsip yang mendasar, yang menggarisbawahi keunikan dan kemuliaan ajaran Islam.