Trunyan Village: Eksotisme di Tepi Danau

Bali seringkali diasosiasikan dengan pantai yang ramai, pura megah, dan sawah terasering yang menenangkan. Namun, jauh di pedalaman utara pulau dewata, tersembunyi sebuah desa dengan tradisi yang sangat unik, bahkan bisa dibilang ekstrem, yaitu Desa Trunyan. Terletak di tepi Danau Batur, di kaki Gunung Batur, desa ini menawarkan perspektif yang sama sekali berbeda tentang budaya Bali, khususnya mengenai ritual kematiannya.

Keunikan Lokasi dan Lingkungan

Akses menuju Trunyan tidak semudah menuju desa-desa di Bali selatan. Perjalanan mengharuskan pengunjung melewati jalanan yang berkelok dan menanjak, memberikan nuansa petualangan tersendiri. Desa ini dibagi menjadi tiga wilayah utama berdasarkan garis keturunan leluhur, yaitu Terunyan Batur, Terunyan Abian, dan Terunyan Kaja.

Daya tarik utama Trunyan, selain tradisinya, adalah pemandangan alamnya. Berada di dataran tinggi Kintamani, udara di sini lebih sejuk. Danau Batur yang membentang luas menjadi latar belakang pemandangan yang memukau, seringkali diselimuti kabut tipis di pagi hari.

Pemandangan Danau Batur dari Trunyan

Pemandangan Danau Batur dan siluet Desa Trunyan.

Tradisi Kematian yang Kontroversial

Apa yang membuat Desa Trunyan sangat terkenal di kalangan wisatawan domestik maupun internasional adalah cara mereka memperlakukan jenazah orang meninggal. Berbeda dengan desa-desa Bali lainnya yang menganut tradisi Ngaben (kremasi), masyarakat Trunyan memiliki ritual pemakaman yang sangat sederhana dan langsung.

Bagi penduduk asli Trunyan (yang menganut sekte Pemangku), jenazah orang yang meninggal, terutama yang sudah menikah dan meninggal karena usia tua atau sakit alami, tidak dikremasi. Jenazah tersebut hanya diletakkan di atas tanah, di sebuah area khusus bernama Santhi atau Setra Badah, yang terletak di bawah pohon Taru Menyan yang aromanya konon mampu menetralisir bau busuk.

Mengapa tidak dikremasi?
Menurut kepercayaan mereka, proses kremasi (Ngaben) adalah ritual yang sangat mahal dan memerlukan banyak sesajen. Karena keterbatasan ekonomi dan filosofi yang berbeda, mereka percaya bahwa alam akan mengurus jenazah tersebut secara alami. Keunikan ini menarik perhatian banyak pihak karena kontras dengan mayoritas ritual kematian di Bali.

Prosedur Pemakaman yang Unik

Jenazah diusung menggunakan tandu bambu dan diletakkan menghadap ke arah pohon Taru Menyan. Yang menarik adalah, meskipun jenazah hanya diletakkan di permukaan tanah, konon bau yang ditimbulkan tidak menyengat. Hal ini dikaitkan dengan mitos kuno dan kesuburan tanah di area pemakaman tersebut. Hanya jenazah dari klan asli Trunyan yang diizinkan dimakamkan dengan cara ini.

Proses ini berlangsung relatif cepat. Setelah beberapa waktu (tergantung kondisi alam dan kesepakatan desa), tulang belulang akan dipindahkan dan disusun secara rapi di tempat khusus, membentuk tumpukan tulang yang menjadi daya tarik fotografi yang ironis namun sakral.

Menjaga Kearifan Lokal di Era Modern

Meskipun kini Trunyan menjadi destinasi wisata, masyarakatnya tetap berusaha keras menjaga keaslian tradisi mereka. Kunjungan ke area pemakaman ini harus dilakukan dengan rasa hormat yang tinggi. Pengunjung seringkali harus membayar sejumlah biaya ritual atau donasi, yang digunakan untuk pemeliharaan area suci tersebut.

Pengunjung luar sangat dianjurkan untuk tidak mengambil foto secara sembarangan, terutama foto jenazah atau area tulang belulang, karena ini dianggap sangat menodai kesakralan ritual. Interaksi dengan penduduk setempat perlu dilakukan dengan sopan, memahami bahwa apa yang bagi dunia luar adalah 'kejutan' budaya, bagi mereka adalah bagian integral dari siklus kehidupan dan kematian mereka.

Trunyan Village bukan sekadar desa biasa; ia adalah museum hidup dari sebuah kepercayaan yang berani menolak arus utama, menawarkan pelajaran mendalam tentang perspektif spiritualitas yang beragam di Nusantara. Keindahan alamnya berpadu dengan keunikan budayanya, menjadikannya destinasi yang wajib dikunjungi bagi mereka yang mencari pengalaman Bali yang otentik dan berbeda.

🏠 Homepage