وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ ۖ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ ۚ إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ نَارًا أَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا ۚ وَإِنْ يَسْتَغِيثُوا يُغَاثُوا بِمَاءٍ كَالْمُهْلِ يَشْوِي الْوُجُوهَ ۚ بِئْسَ الْمَشْرَبُ وَسَاءَتْ مُرْتَفَقًا
"Katakanlah (Muhammad): 'Kebenaran itu datang dari Tuhanmu, maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman; dan barangsiapa yang ingin (kufur) biarlah ia kufur'. Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang yang zalim (durhaka) itu dinding (api) yang akan mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti tembaga panas yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek." (QS. Al-Kahfi: 29)
Ayat ke-29 dari Surah Al-Kahfi merupakan salah satu penutup bahasan mendalam mengenai dua golongan manusia yang dibahas dalam surat tersebut: orang-orang beriman yang sabar dan orang-orang yang tertipu oleh dunia (zalim). Ayat ini berfungsi sebagai penegasan prinsip dasar dalam beragama: kebebasan memilih dan konsekuensi logis dari pilihan tersebut. Allah SWT memerintahkan Nabi Muhammad SAW untuk menyatakan dengan tegas bahwa kebenaran berasal murni dari sisi-Nya, bukan dari opini atau hawa nafsu manusia.
Frasa kunci pertama adalah "Katakanlah: Kebenaran itu datang dari Tuhanmu." Ini adalah penegasan otoritas Ilahi. Dalam konteks turunnya ayat, banyak pihak yang menolak ajaran Nabi karena merasa superior secara klan, kekayaan, atau tradisi. Ayat ini menepis semua klaim tersebut; standar kebenaran tunggal adalah wahyu dari Allah. Karena kebenaran sudah disajikan secara jelas, maka langkah selanjutnya diserahkan sepenuhnya kepada individu.
Bagian kedua ayat ini sangat fundamental dalam teologi Islam: "maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman; dan barangsiapa yang ingin (kufur) biarlah ia kufur." Ayat ini menegaskan konsep ikhtiar (pilihan bebas) yang dimiliki manusia. Allah tidak memaksa siapapun untuk beriman. Pintu rahmat terbuka lebar, namun pintu hidayah tidak akan masuk kecuali ada upaya dan penerimaan dari hati. Ini menunjukkan keadilan mutlak Allah; Dia memberikan kesempatan, namun setiap jiwa bertanggung jawab atas responsnya terhadap seruan kebenaran tersebut.
Namun, penegasan kebebasan ini tidak berarti bahwa kedua pilihan tersebut memiliki bobot yang sama di sisi Allah. Ayat selanjutnya segera memberikan konsekuensi dramatis bagi mereka yang memilih jalan kekafiran dan kezaliman. Ayat 29 secara eksplisit beralih dari ranah pilihan di dunia ke ranah pertanggungjawaban di akhirat.
Pernyataan kedua dalam ayat ini sangat mengerikan, ditujukan kepada mereka yang memilih untuk menolak kebenaran (orang-orang yang zalim). Allah berfirman: "Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang yang zalim itu dinding (api) yang akan mengepung mereka." Kata surādiq (dinding/tenda) di sini sering ditafsirkan sebagai api yang menyeluruh, tanpa celah untuk melarikan diri. Ini adalah gambaran pengepungan total dari siksaan. Tidak ada harapan untuk keluar karena dinding tersebut adalah batas dari siksa neraka itu sendiri.
Lebih lanjut, ayat ini menggambarkan kondisi mereka ketika mengalami kebutuhan mendasar, yaitu rasa haus: "Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti tembaga panas yang menghanguskan muka." Bayangkan kebutuhan dasar seperti air minum berubah menjadi cairan yang mendidih dan melukai saat bersentuhan dengan wajah. Ini menunjukkan bahwa siksaan di akhirat tidak hanya bersifat fisik yang menyakitkan, tetapi juga ironis—kebutuhan yang paling mudah dipenuhi di dunia menjadi sumber penderitaan terbesar di akhirat.
Puncak dari ayat ini adalah kesimpulan pedas mengenai nasib akhir mereka: "Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek." Ini adalah vonis akhir yang menekankan betapa buruknya pilihan hidup mereka di dunia yang telah mengarahkan mereka pada persinggahan terburuk di akhirat. Bagi orang yang beriman, akhirat adalah rumah yang mulia; bagi orang zalim, itu adalah tempat peristirahatan yang penuh derita.
Mempelajari terjemahan surat Al-Kahfi ayat 29 seharusnya mendorong seorang Muslim untuk mengevaluasi posisi imannya. Apakah kita termasuk yang memanfaatkan kebebasan memilih untuk mendekat kepada kebenaran yang datang dari Allah? Ayat ini berfungsi sebagai pengingat bahwa iman bukanlah hal yang pasif; ia menuntut pilihan aktif. Ketika kebenaran dihadapkan kepada kita melalui Al-Qur'an dan Sunnah, kita harus merespons dengan kerendahan hati dan penerimaan, bukan dengan kesombongan atau penolakan. Pilihan hidup kita di dunia—sekecil apapun—memiliki dampak abadi yang tidak tertandingi. Maka, marilah kita berlindung dari sikap zalim dan memohon agar Allah menjadikan kita termasuk golongan yang menyambut kebenaran-Nya dengan hati yang terbuka.