Ilustrasi Gua dan Cahaya Sebuah representasi visual dari gua dan cahaya, melambangkan kisah Ashabul Kahfi. كهف

Kisah Perjalanan dan Kekuatan Iman: Terjemahan Surat Al-Kahfi Ayat 60-82

Surat Al-Kahfi, surat ke-18 dalam Al-Qur'an, menyimpan kisah-kisah penuh pelajaran tentang ujian keimanan, kesabaran, dan hakikat ilmu. Ayat 60 hingga 82 secara spesifik menceritakan perjalanan Nabi Musa AS bersama seorang hamba Allah yang bijaksana (sering diidentifikasi sebagai Nabi Khidir AS). Perjalanan ini adalah pelajaran agung tentang batas pengetahuan manusia versus pengetahuan Tuhan.

Ayat 60 - 70: Pencarian Ilmu dan Batasan Pengetahuan

Ayat-ayat pembuka bagian ini menegaskan bahwa Musa AS, meskipun seorang Nabi besar, harus mencari ilmu lebih lanjut. Ia diingatkan bahwa pencarian ilmu tidak berhenti pada level yang ia capai saat itu. Ini adalah pengingat kuat bahwa kerendahan hati intelektual adalah kunci untuk menerima hikmah yang lebih tinggi.

وَإِذْ قَالَ مُوسَىٰ لِفَتَاهُ لَا أَبْرَحُ حَتَّىٰٓ أَبْلُغَ مَجْمَعَ بَحْرَيْنِ أَوْ أَمْضِيَ حُقُبًا
[60] Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya: "Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum aku sampai ke tempat bertemunya dua lautan, atau aku berjalan terus selama beberapa waktu."
فَلَمَّا بَلَغَا مَجْمَعَ بَيْنِهِمَا نَسِيَا حُوتَهُمَا فَاتَّخَذَ سَبِيلَهُ فِي الْبَحْرِ سَرَبًا
[61] Maka tatkala mereka sampai di tempat pertemuan dua lautan itu, mereka melupakan ikan mereka, lalu ikan itu melompat ke laut dan hilang.
فَلَمَّا جَاوَزَا قَالَ لِفَتَاهُ آتِنَا غَدَاءَنَا لَقَدْ لَقِينَا مِنْ سَفَرِنَا هَٰذَا نَصَبًا
[62] Tatkala mereka telah melewatinya, berkatalah Musa kepada muridnya: "Bawalah kemari makanan kita; sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini."

Kisah berlanjut dengan hilangnya ikan (sebagai petunjuk) setelah mereka lupa. Ketika Musa merasa lelah dan meminta makanan, Khidir (atau hamba bijaksana tersebut) mengingatkan Musa bahwa saat kehilangan ikan itulah momen di mana mereka seharusnya menyadari petunjuk pertama telah muncul. Kelalaian manusiawi Musa menunjukkan bahwa bahkan para Nabi pun bisa melupakan hal-hal kecil dalam urusan mencari hikmah, membutuhkan pengingat.

Ayat 71 - 75: Kisah Perahu dan Pelajaran Tentang Perusakan

Setelah pertemuan kembali, mereka melanjutkan perjalanan hingga bertemu dengan pemuda saleh yang kemudian melakukan tindakan yang tampaknya kejam: merusak perahu yang membawa mereka. Musa sangat terkejut dan memprotes tindakan tersebut, karena ia melihatnya sebagai kejahatan tanpa alasan yang jelas.

قَالَ أَهَٰذَا فِرَاقُ بَيْنِي وَبَيْنِكَ ۚ سَأُنَبِّئُكَ بِتَأْوِيلِ مَا لَمْ تَسْتَطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا
[78] (Khidir) berkata: "Inilah perpisahan antara aku dan kamu; kelak akan kuberitahukan kepadamu tujuan dari perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat menahannya dengan sabar."

Di sini terungkap pelajaran penting: Tindakan yang tampak buruk di mata manusia mungkin menyembunyikan kebaikan yang lebih besar dari perspektif Ilahi. Khidir menjelaskan bahwa ia merusak perahu tersebut agar tidak dirampas oleh raja zalim yang mengambil setiap perahu bagus tanpa cacat.

Ayat 76 - 82: Kisah Anak dan Tembok yang Runtuh

Perjalanan kedua menguji kesabaran Musa lebih jauh ketika mereka bertemu dengan sebuah desa dan meminta makanan, namun penduduknya menolak. Di sana, Khidir menemukan tembok yang hampir roboh dan atas inisiatifnya sendiri, ia membangunnya kembali menjadi kokoh. Musa kembali memprotes karena mereka tidak mendapatkan imbalan atas kerja keras itu.

Puncak pelajaran terjadi ketika Khidir akhirnya memberikan "ta'wil" (penjelasan mendalam) atas semua tindakannya:

  1. **Perahu:** Dirusak agar selamat dari raja zalim.
  2. **Anak:** Dibunuh karena Allah mengetahui bahwa anak itu akan tumbuh menjadi orang kafir yang akan menyusahkan orang tuanya yang beriman. Kematiannya diganti dengan anak yang lebih baik dari segi takwa dan kasih sayang.
  3. **Tembok:** Dibangun kembali karena di bawahnya terdapat harta pusaka milik dua anak yatim piatu, dan orang tua mereka adalah orang saleh. Allah menghendaki harta itu tersimpan aman hingga mereka dewasa dan dapat mengambilnya.

Ayat 82 menutup kisah dengan penegasan fundamental:

وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ كَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ ۚ وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي ۚ ذَٰلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ تَسْطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا
[82] Dan adapun tembok itu, adalah ia kepunyaan dua orang saudara yang menjadi yatim piatu di kota itu, dan di bawahnya ada harta pusaka kepunyaan mereka berdua, dan ada pula ayahnya seorang yang saleh. Maka Tuhan-mu menghendaki supaya mereka itu menjadi baligh, lalu mereka mengeluarkan simpanan hartanya itu sebagai rahmat dari Tuhanmu. Dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itulah tafsir dari perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat bersabar atasnya."

Kisah Musa dan Khidir adalah metafora mendalam bagi kita. Ia mengajarkan bahwa ada kebijaksanaan yang tersembunyi di balik setiap peristiwa, bahkan yang tampak menyakitkan atau tidak adil. Kesabaran (Shabr) bukan sekadar diam menunggu, tetapi menahan diri dari menghakimi sebelum seluruh konteks—yang hanya diketahui Allah—terungkap sepenuhnya. Pemahaman bahwa ilmu manusia terbatas dan bahwa rahmat Allah sering bekerja melalui cara-cara yang tidak terduga adalah inti dari pelajaran di ayat-ayat mulia Al-Kahfi ini.

🏠 Homepage