Surat Al-Kahfi menyimpan banyak pelajaran mendalam, salah satunya adalah kisah pertemuan antara Nabi Musa 'alaihissalam dengan hamba Allah yang shalih, Khidir 'alaihissalam, yang terangkum dalam ayat 60 hingga 82. Ayat 60 membuka lembaran kisah ini dengan menggambarkan titik temu kedua tokoh besar ini di persimpangan dua lautan.
Kisah ini bukan sekadar perjalanan fisik, tetapi sebuah perjalanan spiritual untuk mencari ilmu yang tidak dimiliki Nabi Musa. Perjalanan ini membutuhkan kesabaran luar biasa dan persiapan mental untuk menghadapi hal-hal yang di luar nalar manusia biasa. Musa bersama pembantunya, Yusa’ bin Nun, membawa bekal berupa ikan yang kemudian menjadi petunjuk lokasi pertemuan.
Ketika mereka tiba di tempat pertemuan, ikan bekal mereka hilang. Ini adalah ujian pertama yang ringan namun penting. Nabi Musa menyadarinya, namun Yusa’ bin Nun terlupa memberi tahu. Ketika mereka melanjutkan perjalanan dan mulai merasa lapar, Nabi Musa teringat tentang hilangnya ikan tersebut.
Khidir kemudian menyambut mereka dan mengingatkan Musa akan janji dan kesabarannya. Musa mengakui kelalaiannya, dan Khidir menegaskan bahwa mencari ilmu sejati sering kali membutuhkan pengorbanan dan kesabaran yang tak terduga.
Di ayat 65, Allah SWT menjelaskan bahwa Musa bertemu dengan salah satu hamba-Nya yang diberi rahmat dan ilmu ladunni (ilmu langsung dari Allah) oleh Allah SWT. Pertemuan ini membawa syarat penting dari Khidir:
Khidir meminta Musa untuk bersabar mengikuti tindakannya, tanpa bertanya atau menentang, sampai Khidir sendiri yang menjelaskan.
Nabi Musa menyetujui syarat tersebut, namun ia tahu bahwa ujian kesabaran akan sangat berat, karena ilmu yang dimiliki Khidir berbeda dengan ilmu kenabian yang diwariskan kepada Musa.
Kisah utama dimulai dari ayat 70, di mana Khidir melakukan tiga tindakan yang tampak aneh dan tidak dapat dipahami oleh Nabi Musa pada saat itu:
Setelah tiga ujian kesabaran yang dilalui Musa, Khidir akhirnya menjelaskan alasan di balik setiap tindakannya. Inti dari pelajaran ini adalah perbedaan antara ilmu manusiawi yang terbatas dengan ilmu ilahi (ilmu ladunni).
Pelajaran terbesar dari ayat-ayat ini adalah pentingnya berserah diri kepada ketetapan Allah. Sering kali, apa yang tampak sebagai keburukan atau kerugian di mata kita, ternyata adalah pintu menuju kebaikan yang lebih besar di sisi Allah. Kisah ini mengajarkan kerendahan hati, bahwa selalu ada ilmu yang lebih tinggi yang belum kita pahami, dan kesabaran adalah kunci untuk membukanya.