Surat Al-Kahfi, surat ke-18 dalam Al-Qur'an, menyimpan banyak pelajaran moral dan spiritual. Salah satu kisah paling mendalam di dalamnya adalah perjalanan Nabi Musa AS bersama seorang hamba Allah yang saleh bernama Khidir AS (atau Al-Khidr). Kisah ini menjadi percontohan tentang pentingnya kesabaran, kerendahan hati, dan penerimaan bahwa ilmu manusia terbatas dibandingkan dengan ilmu Allah SWT.
Ayat 66 Surat Al-Kahfi menjadi titik balik penting dalam perjalanan mereka. Setelah menyaksikan tiga peristiwa yang sulit dipahami oleh Musa—melubangi perahu, membunuh seorang anak laki-laki, dan memperbaiki dinding yang hampir roboh—Musa merasa telah mencapai batas kesabarannya dan meminta izin untuk berpisah.
"Berkata Musa kepadanya: 'Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku sebagian dari ilmu yang benar yang telah diajarkan kepadamu?'"
(QS. Al-Kahfi: 66)
Ayat ini menunjukkan transformasi luar biasa dalam diri Nabi Musa AS. Awalnya, Musa merasa memiliki otoritas ilmu kenabian dan terkejut dengan tindakan Khidir. Namun, setelah menyaksikan kebijaksanaan di balik setiap kejadian yang tampak janggal, Musa menyadari bahwa ilmu Khidir melampaui pengetahuan yang ia miliki.
Permintaan Musa, "Bolehkah aku mengikutimu...", adalah manifestasi dari kerendahan hati seorang nabi besar. Ia tidak memaksakan kehendaknya, melainkan memohon izin. Ini mengajarkan umat bahwa pencarian ilmu harus disertai dengan adab dan pengakuan atas keunggulan ilmu orang yang lebih berilmu.
Ilustrasi perjalanan pencarian ilmu yang penuh misteri.
Permintaan Musa untuk mengikuti Khidir adalah permohonan untuk mendapatkan 'Ilm Ladunni, yaitu ilmu yang langsung diberikan oleh Allah, bukan ilmu yang didapat melalui proses belajar konvensional. Khidir mengisyaratkan bahwa ilmu yang akan diajarkan ini adalah ilmu yang bersifat hakiki dan bersumber langsung dari wahyu ilahi, yang terkadang melampaui logika manusiawi.
Jawaban Khidir terhadap permintaan Musa sangat tegas dan menjadi pelajaran penting kedua dari ayat ini. Khidir berkata, "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan dapat sabar menyertaiku." (Al-Kahfi: 67). Respons ini menekankan syarat utama dalam menuntut ilmu ladunni atau ilmu hikmah yang mendalam: kesabaran tingkat tinggi.
Dengan demikian, tafsir Surat Al-Kahfi ayat 66 membuka pintu pemahaman kita bahwa perjalanan spiritual dan intelektual membutuhkan kerendahan hati untuk mau belajar dari siapa pun yang memiliki ilmu lebih, selama ilmu itu bersumber dari kebenaran Ilahi.