Surah Al-Kahfi, yang berarti "Gua", adalah salah satu surah Makkiyah yang sarat dengan pelajaran mendalam, terutama sepuluh ayat pertamanya. Ayat-ayat pembuka ini berfungsi sebagai fondasi teologis yang menjelaskan sifat Al-Qur'an dan mengapa ia diturunkan. Memahami sepuluh ayat pertama ini adalah kunci untuk menangkap esensi peringatan dan bimbingan yang ada di seluruh surah.
Segala puji bagi Allah, Yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al-Kitab (Al-Qur'an) dan tidak menjadikan di dalamnya kebengkokan (sedikit pun).
Ayat pertama langsung memulai dengan pujian (Alhamdulillah) kepada Allah SWT. Penekanan utama diletakkan pada sifat Al-Qur'an itu sendiri: ia adalah Al-Kitab yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW, dan yang terpenting, ia "tidak menjadikan di dalamnya kebengkokan" ('iwajan). Ini menegaskan kemurnian, kebenaran, dan konsistensi doktrinnya. Tidak ada kontradiksi internal dalam ajaran Al-Qur'an, menjadikannya sumber hukum dan petunjuk yang sempurna.
Sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan tentang siksa yang keras dari sisi-Nya, dan memberikan kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan amal saleh bahwa mereka akan mendapatkan pahala yang baik.
Setelah menegaskan kelurusan Al-Qur'an, ayat ini menjelaskan fungsinya yang ganda. Pertama, ia bersifat lurus (Qayyiman), menegakkan standar kebenaran. Kedua, ia berfungsi sebagai peringatan keras bagi mereka yang menolak atau ingkar, mengenai azab yang akan datang dari sisi Allah. Di sisi lain, ia membawa kabar gembira bagi orang beriman yang konsisten beramal saleh, menjanjikan balasan surga yang indah. Ini menunjukkan keseimbangan antara ancaman dan harapan dalam syariat Islam.
Mereka kekal di dalamnya untuk selama-lamanya. Dan untuk memperingatkan (pula) orang-orang yang berkata: "Allah mengambil seorang anak."
Ayat 3 menekankan sifat kekal dari pahala tersebut ("mereka kekal di dalamnya abada"), memberikan penegasan betapa berharganya amal saleh yang dilakukan di dunia. Ayat 4 melanjutkan fungsi peringatan, secara spesifik menargetkan klaim sesat bahwa Allah memiliki anak—sebuah penolakan terhadap konsep tauhid murni. Ini menunjukkan bahwa salah satu peringatan terbesar dalam Al-Qur'an adalah penolakan terhadap segala bentuk syirik, termasuk penyekutuan Allah dengan ciptaan-Nya.
Mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka. Alangkah hebatnya kata-kata yang keluar dari mulut mereka; mereka tidak mengatakan (sesuatu) kecuali dusta. Maka (seandainya mereka tidak beriman kepada keterangan ini) barangkali kamu akan membinasakan dirimu sendiri karena bersedih hati mengikuti jejak mereka, jika mereka tidak mau beriman kepada perkataan ini.
Ayat 5 menegaskan bahwa klaim-klaim besar (seperti Allah punya anak) tidak didasarkan pada ilmu pengetahuan, baik ilmu yang mereka miliki maupun ilmu yang diwarisi dari leluhur mereka. Itu murni kebohongan yang keluar dari lisan. Ayat 6 kemudian berbicara langsung kepada Nabi Muhammad SAW, menunjukkan betapa beratnya beban dakwah. Allah menghibur Nabi, melarangnya terlalu menyiksa diri (membinasakan diri) karena kesedihan melihat penolakan keras kaumnya terhadap kebenaran Al-Qur'an.
Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka, siapakah di antara mereka yang terbaik amalannya. Dan sungguh, Kami akan menjadikan apa yang ada di atasnya (bumi) sebagai tanah yang tandus lagi kering.
Ayat 7 menjelaskan bahwa segala kemewahan dan keindahan dunia (harta, anak, kekuasaan) diciptakan hanya sebagai ujian (linabluwahum) untuk melihat kualitas amal perbuatan manusia. Ayat 8 memberikan kontras tegas: kemewahan itu fana. Allah akan melenyapkannya, menjadikan bumi tandus dan kering. Ini adalah pengingat kuat agar hati tidak terpaut pada hal-hal yang sementara.
Ataukah kamu mengira bahwa orang-orang gua dan ar-Raqim itu adalah suatu keajaiban di antara tanda-tanda Kami? (Ingatlah) tatkala para pemuda itu mencari perlindungan ke dalam gua, lalu mereka berdoa: "Ya Tuhan kami, berikanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu dan siapkanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami ini."
Ayat 9 mengalihkan fokus pembaca kepada kisah yang akan dibahas lebih lanjut: Ashabul Kahfi (Penghuni Gua). Allah menegaskan bahwa kisah mereka bukanlah keajaiban terbesar, sebab keajaiban sejati adalah Al-Qur'an itu sendiri. Ayat 10 menyajikan inti dari doa mereka: mereka berhijrah demi menjaga iman, dan permohonan utama mereka adalah Rahmat dari Allah dan petunjuk (rasyadan) yang lurus. Ini mengajarkan bahwa ketika dihadapkan pada kesulitan ekstrem demi akidah, solusi terbaik adalah kembali memohon rahmat dan petunjuk ilahi secara langsung.