Surah Al-Qadr, yang terdiri dari lima ayat pendek namun memiliki bobot makna yang luar biasa, adalah salah satu penutup dari Juz 'Amma. Kandungan utamanya adalah tentang keagungan malam diturunkannya Al-Qur'an. Untuk memahami kedalaman ayat-ayat ini, merujuk kepada kitab-kitab tafsir klasik seperti karya Imam Ibnu Katsir sangatlah penting. Ibnu Katsir, dengan pendekatannya yang mengutamakan riwayat (atsar) dari Al-Qur'an, Sunnah, dan perkataan Sahabat, memberikan landasan yang kokoh dalam menafsirkan kemuliaan malam tersebut.
Keutamaan Penurunan Al-Qur'an
Ayat pertama, "Inna anzalnahu fi Lailatil-Qadr" (Sesungguhnya Kami telah menurunkannya pada Lailatul Qadr), adalah inti dari seluruh surah. Ibnu Katsir menjelaskan bahwa kata ganti "hu" (nya) merujuk secara tegas kepada Al-Qur'an, yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW. Beliau mengutip beberapa hadis yang menegaskan bahwa malam inilah momen historis di mana Allah SWT memutuskan untuk menurunkan Al-Qur'an secara keseluruhan dari Lauhul Mahfudz ke langit dunia (Baitul Izzah).
Mengapa Allah SWT mengkhususkan malam ini? Tafsiran klasik Ibnu Katsir menekankan bahwa penurunan Al-Qur'an adalah karunia terbesar bagi umat Nabi Muhammad SAW. Jika umat-umat terdahulu menerima wahyu secara bertahap melalui para nabi mereka, umat Islam menerima kitab suci secara keseluruhan pada satu malam yang diagungkan ini, menandakan keistimewaan umat ini di hadapan Allah.
Apa Itu Lailatul Qadr?
Ayat kedua dan ketiga, "Wa ma adraka ma Lailatul-Qadr? Lailatul-Qadru khairum min alfi shahr" (Tahukah kamu apakah Lailatul Qadr itu? Lailatul Qadr itu lebih baik dari seribu bulan), adalah penekanan retoris mengenai besarnya nilai malam tersebut. Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ungkapan "lebih baik dari seribu bulan" (sekitar 83 tahun) bukan berarti amal ibadah di malam itu sebanding dengan 1000 bulan, tetapi ibadah yang dilakukan pada malam itu pahalanya melampaui kebaikan yang dikerjakan selama seribu bulan penuh tanpa adanya Lailatul Qadr.
Ini menunjukkan bahwa Allah SWT memberikan kesempatan emas bagi hamba-Nya untuk meraih pahala yang sangat besar hanya dalam beberapa jam. Keutamaan ini hanya ditemukan dalam sejarah Islam, menjadikannya momen yang sangat dicari oleh para salafus shalih.
Turunnya Para Malaikat
Ayat keempat menjelaskan mekanisme kemuliaan malam tersebut: "Tanazzalul malaa’ikatu war-ruhu fiha bi-idzni Rabbihim min kulli amr" (Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Jibril dengan izin Tuhannya untuk setiap urusan).
Ibnu Katsir menegaskan bahwa turunnya para malaikat dalam jumlah yang sangat banyak, dipimpin oleh Ruh (Malaikat Jibril), mengindikasikan kedamaian dan rahmat yang melimpah. Mereka turun membawa ketetapan ilahi untuk tahun yang akan datang (ketetapan rezeki, ajal, dan takdir). Kehadiran para malaikat yang memohonkan ampunan dan mendoakan umat mukminin menjadikan malam ini dipenuhi keberkahan yang luar biasa.
Keselamatan Hingga Fajar
Ayat terakhir, "Salaamun hiya hatta matla’il-fajr" (Malam itu penuh kesejahteraan hingga terbit fajar), menutup pembahasan dengan jaminan keamanan dan kedamaian. Menurut Ibnu Katsir, "salam" di sini berarti terbebas dari segala keburukan, musibah, dan siksa. Keamanan ini meliputi dimensi spiritual dan duniawi selama malam tersebut berlangsung hingga terbitnya fajar. Malam ini adalah malam rahmat total dari Allah SWT.
Kesimpulan dari Tafsir Ibnu Katsir
Berdasarkan penafsiran Ibnu Katsir, Lailatul Qadr bukan sekadar malam bersejarah, melainkan kesempatan praktis bagi setiap Muslim di masa kini. Surah Al-Qadr mengajarkan kita untuk menghargai setiap detik di malam-malam ganjil Ramadan, terutama sepuluh hari terakhir, karena di dalamnya tersembunyi karunia yang nilainya tak terhitung. Fokus utama adalah peningkatan ibadah, doa, dan memohon ampunan, selaras dengan keberkahan yang dibawa oleh malaikat Jibril dan rombongan mereka. Malam ini adalah manifestasi nyata kasih sayang Allah yang tercurah bagi umat Nabi Muhammad SAW.