Surat Al-Kahfi, yang berarti "Gua", adalah salah satu surat Madaniyyah yang sangat kaya akan pelajaran hidup. Di dalamnya terkandung kisah-kisah heroik tentang keimanan, ujian kesabaran, dan pentingnya memegang teguh prinsip di tengah arus kehidupan yang sering kali menyesatkan. Salah satu ayat kunci yang menjadi fondasi penguatan iman adalah ayat ke-13, yang secara lugas membahas konsekuensi dari iman yang goyah.
Dan Kami teguhkan hati mereka (dengan kesabaran) ketika mereka bangkit lalu mereka berkata: "Tuhan kami adalah Tuhan langit dan bumi; kami sekali-kali tidak akan menyembah Tuhan selain Dia. Sesungguhnya kami kalau demikian telah mengucapkan perkataan yang melampaui batas." (QS. Al-Kahfi: 13)
Ayat ini merupakan kelanjutan dari narasi pembuka tentang pemuda-pemuda Ashabul Kahfi (Penghuni Gua). Mereka adalah sekelompok pemuda yang hidup di bawah pemerintahan raja tiran yang memaksa seluruh rakyatnya menyembah berhala. Ketika mereka menyadari betapa jauhnya ajaran raja dari tauhid sejati, mereka memilih untuk meninggalkan kemewahan dunia, status sosial, dan ancaman hukuman mati demi mempertahankan keimanan mereka kepada Allah SWT.
Ayat 13 ini menjelaskan mekanisme Allah dalam menolong mereka. Kata kunci di sini adalah "Wa rabathna 'ala qulubihim" (Dan Kami teguhkan hati mereka). Peneguhan hati ini bukanlah sesuatu yang otomatis terjadi; ia adalah karunia ilahi yang diberikan sebagai balasan atas usaha keras mereka yang telah mengambil langkah pertama—yaitu berani melawan arus utama demi mencari kebenaran.
Tafsir ulama sering menekankan bahwa 'rabath' (meneguhkan) berarti memberikan ketenangan, keberanian, dan konsistensi spiritual. Bagi pemuda Ashabul Kahfi, godaan untuk kembali murtad sangatlah besar. Mereka meninggalkan keluarga, harta, dan kenyamanan. Dalam kondisi psikologis yang rentan ini, pertolongan Allah datang dalam bentuk peneguhan hati sehingga mereka tidak goyah, bahkan ketika harus melarikan diri menuju gua yang asing.
Peneguhan ini memungkinkan mereka untuk mengucapkan kalimat deklarasi keimanan yang radikal pada masa itu: "Tuhan kami adalah Tuhan langit dan bumi; kami sekali-kali tidak akan menyembah Tuhan selain Dia."
Bagian kedua dari ayat ini sangat kuat dampaknya: "Sesungguhnya kami kalau demikian telah mengucapkan perkataan yang melampaui batas (syathath)."
Para mufassir menjelaskan bahwa 'syathath' merujuk pada kebohongan besar atau klaim yang sangat jauh dari kebenaran. Jika mereka, setelah mengetahui bahwa hanya Allah satu-satunya Tuhan yang berhak disembah, kemudian mereka menyembah selain-Nya, maka klaim mereka sebelumnya bahwa Allah adalah Tuhan langit dan bumi hanyalah kebohongan yang keji. Ini menunjukkan bahwa pengakuan lisan harus selaras dengan tindakan nyata. Kegagalan menyelaraskan lisan dan perbuatan adalah bentuk 'syathath' yang dilarang keras oleh Allah.
Dalam konteks kekinian, ayat ini mengajarkan kita tentang pentingnya konsistensi iman. Godaan modern tidak lagi berupa penyembahan berhala secara fisik, melainkan penyembahan terhadap "tuhan-tuhan" lain seperti materi, jabatan, popularitas, atau hawa nafsu. Ketika menghadapi tekanan untuk berkompromi dengan prinsip agama demi kesuksesan duniawi, ayat 13 menjadi pengingat tajam:
Kisah Ashabul Kahfi dan peneguhan yang mereka terima adalah model bagaimana Allah membela hamba-Nya yang berani memilih jalan yang sulit demi mempertahankan kebenaran. Ayat 13 adalah seruan agar kita senantiasa meminta keteguhan hati agar lisan dan amal kita tidak pernah terpisah dari tauhid yang murni.