Surah Al-Kahfi adalah salah satu surah yang sangat sarat makna dalam Al-Qur'an, seringkali dianjurkan untuk dibaca setiap hari Jumat. Salah satu bagian paling mendalam dari surah ini adalah kisah pertemuan Nabi Musa 'alaihissalam dengan hamba Allah yang saleh bernama Khidr, yang diceritakan dari ayat 60 hingga 82. Di tengah dialog dan pembelajaran yang dinamis antara kedua tokoh besar ini, terdapat ayat kunci yang menjadi poros utama pemahaman kita tentang ilmu dan kesabaran, yaitu tafsir Al-Kahfi ayat 66.
"Musa berkata kepadanya (Khidr): 'Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku sebagian dari ilmu yang benar yang telah diajarkan kepadamu?'" (QS. Al-Kahfi: 66)
Konteks Permintaan Musa kepada Khidr
Ayat 66 ini muncul setelah Nabi Musa merasa sedikit kecewa dan bingung atas tindakan Khidr yang merusak perahu tanpa alasan yang jelas (Ayat 71). Musa, sebagai seorang nabi yang diberi wahyu, terbiasa dengan logika yang lurus dan hukum yang tampak. Ketika melihat tindakan Khidr yang tampak melanggar norma, kesabarannya mulai teruji. Permintaan Musa untuk mengikuti Khidr sebenarnya muncul dari rasa haus akan ilmu dan pemahaman mendalam yang dimiliki oleh Khidr.
Penting untuk dicatat bahwa Musa tidak meminta Khidr untuk mengajarkan seluruh ilmunya, melainkan "sebagian dari ilmu yang benar yang telah diajarkan kepadamu." Ini menunjukkan kerendahan hati yang luar biasa dari seorang Nabi Allah, Musa, yang menyadari bahwa pengetahuan Allah sangat luas, dan ia masih memiliki celah dalam pemahamannya. Permintaan ini adalah sebuah pengakuan bahwa ilmu yang dimiliki Khidr adalah ilmu yang datang langsung dari sisi Allah (ilmu ladunni), berbeda dengan ilmu yang diterima Musa melalui wahyu formal.
Makna "Ilmu yang Benar" (Rasyidan)
Kata kunci dalam ayat ini adalah "ilmun min rusydin" atau ilmu yang benar/tepat. Tafsir Al-Kahfi ayat 66 menekankan bahwa ilmu yang dicari Musa bukanlah sekadar informasi atau pengetahuan umum, melainkan ilmu yang mengandung hikmah mendalam, ilmu yang melampaui logika kasat mata, dan ilmu yang dapat menuntun kepada kebenaran hakiki.
Para mufassir menjelaskan bahwa ilmu yang dimaksud di sini adalah ilmu yang berhubungan dengan takdir dan kebijaksanaan ilahiah. Musa, meskipun memiliki kedudukan tinggi, mengakui bahwa ada dimensi pemahaman realitas yang belum ia kuasai. Ia ingin belajar bagaimana memandang suatu peristiwa bukan hanya dari sudut pandang keadilan zahir, tetapi juga dari sudut pandang hikmah gaib Allah SWT.
Pelajaran Penting dari Sikap Musa
Kisah ini memberikan beberapa pelajaran fundamental bagi setiap pencari ilmu:
- Kerendahan Hati dalam Menuntut Ilmu: Seorang Nabi sekelas Musa bersedia menjadi murid. Ini mengajarkan bahwa status sosial atau pencapaian intelektual tidak boleh menghalangi seseorang untuk terus belajar dari siapa pun, bahkan dari orang yang statusnya tampak di bawahnya (seperti Khidr saat itu).
- Keberanian Meminta Bimbingan: Musa tidak malu mengakui ketidaktahuannya dan secara eksplisit meminta bimbingan. Sikap ini sangat penting dalam proses tarbiyah (pendidikan).
- Fokus pada Kualitas Ilmu: Musa mencari ilmu yang "benar" (rusyid), yang mengarah pada pemahaman hakikat, bukan sekadar ilmu yang populer atau mudah dipahami.
Batasan Ilmu Manusia
Tafsir Al-Kahfi ayat 66 juga menjadi pengingat bahwa ilmu manusia terbatas. Meskipun kita memiliki wahyu dan akal, masih ada lapisan realitas yang tersembunyi dari pandangan kita. Peristiwa perahu yang dilubangi, anak yang dibunuh, dan dinding yang diperbaiki semuanya adalah manifestasi dari ilmu yang melampaui pemahaman Musa pada saat itu. Ilmu Khidr adalah ilmu yang berorientasi pada hasil akhir (maqashid) yang baik, meskipun prosesnya tampak buruk di mata manusia yang terbatas.
Permintaan Nabi Musa ini memicu izin dari Khidr, yang kemudian menetapkan syarat ketat: kesabaran mutlak dan penundaan segala bentuk penghakiman hingga Khidr selesai menjelaskan. Ayat 66 ini membuka pintu bagi sebuah episode pembelajaran spiritual terpenting dalam sejarah kenabian, mengajarkan umat Islam bahwa jalan menuju pemahaman hakikat seringkali memerlukan guru yang bijaksana dan kesiapan murid untuk menerima kebenaran yang mungkin bertentangan dengan asumsi awal. Dengan memahami tafsir Al-Kahfi ayat 66, kita diingatkan akan pentingnya terus mencari ilmu yang mencerahkan, sambil tetap memegang teguh adab seorang pencari ilmu.