Surat Al-Fatihah, atau yang dikenal sebagai "Ummul Kitab" (Induk Al-Qur'an) dan "As-Sab’ul Matsani" (Tujuh Ayat yang Diulang-ulang), adalah surat pembuka dalam mushaf Al-Qur'an. Keagungannya tidak diragukan lagi, karena setiap ayatnya mengandung makna tauhid, pujian, dan permohonan pertolongan. Secara khusus, ayat kedua dari surat agung ini memiliki posisi dan nama yang sangat penting dalam tradisi Islam.
Surat Al-Fatihah ayat ke 2 dinamakan dengan bacaan yang menjadi pilar penegasan terhadap sifat Allah SWT. Ayat ini berfungsi sebagai jembatan konseptual setelah ayat pertama yang menyatakan bahwa Al-Qur'an adalah milik Allah. Ayat kedua langsung memperkenalkan inti dari sifat-sifat Ilahi yang paling sering diulang oleh seorang Muslim.
Ayat ini secara harfiah berbunyi, "Segala puji hanya milik Allah, Tuhan bagi seluruh alam semesta." Dalam konteks penamaan bacaan, ayat ini sering dirujuk sebagai ayat **"Rabbul 'Alamin"** atau secara umum, ayat yang memuat lafaz **"Alhamdulillāh"**. Mengapa demikian? Karena penamaan ini merangkum inti ajaran yang dibawa oleh ayat tersebut, yaitu penegasan bahwa segala bentuk pujian (al-hamdu) tertuju hanya kepada Allah sebagai Rabb (Pemelihara, Pengatur, dan Pemilik) bagi seluruh makhluk, dari yang terlihat hingga yang tidak terlihat.
Ayat kedua ini merupakan penegasan Tauhid Rububiyyah yang sangat fundamental. Setelah di ayat pertama Allah memperkenalkan diri-Nya sebagai Rabb (Pemilik) dan Malik (Penguasa) hari pembalasan, ayat kedua menguatkan konsep tersebut dengan cakupan yang universal.
Lafaz "Alhamdulillāh" mengandung makna pengakuan bahwa tidak ada satu pun yang berhak dipuji secara mutlak kecuali Allah SWT. Pujian yang tulus, baik lisan maupun hati, hanya layak diarahkan kepada-Nya. Ini membedakan konsep pujian dalam Islam dengan sanjungan duniawi yang sering kali bersifat kondisional.
Frasa "Rabbil 'Alamin" memiliki makna yang sangat luas. Kata 'Alam (Jamak dari 'Alam) merujuk pada segala sesuatu selain Allah yang diciptakan dan dikelola-Nya. Ini mencakup:
Dengan mengakui Allah sebagai Rabb bagi seluruh alam, seorang Muslim meyakini bahwa segala hukum alam, siklus kehidupan, rezeki, dan kematian berada di bawah kendali dan kebijaksanaan-Nya.
Meskipun sangat berkaitan, ayat pertama ("Alhamdulillahi Rabbil 'Alamin") dan ayat kedua ("Ar-Rahmanir Rahim") seringkali dipahami dalam konteks yang sedikit berbeda meskipun dalam mushaf modern keduanya adalah ayat 1 dan 2 (atau ayat 2 dan 3, tergantung pada pembagian basmalah). Namun, jika kita fokus pada susunan yang baku (dengan Basmalah sebagai ayat nol):
Ayat kedua ini adalah respons wajib seorang hamba ketika ia mengetahui keagungan Rabbnya. Ini adalah wujud syukur awal sebelum permintaan pertolongan dilakukan pada ayat-ayat selanjutnya. Seseorang tidak bisa meminta pertolongan (seperti pada ayat "Iyyaka na'budu..." dan "Ihdinas-siratal mustaqim") sebelum ia mengakui kebesaran dan kepemilikan Allah atas dirinya dan alam semesta.
Ketika seorang Muslim membaca "Alhamdulillāhi Rabbil ‘ālamīn" dalam shalatnya, ia sedang menyucikan niatnya. Ia menegaskan bahwa aktivitas ibadahnya bukan didasari oleh harapan akan imbalan duniawi semata, melainkan sebagai bentuk pengakuan utang pujian kepada Pencipta yang telah mengatur segala urusan.
Pengulangan ayat ini sebanyak minimal 17 kali dalam shalat fardhu harian berfungsi sebagai penyeimbang spiritual. Di tengah kesibukan dan hiruk pikuk dunia (yang semuanya termasuk dalam kategori 'Alam), ayat ini mengingatkan jiwa bahwa ada satu titik fokus yang stabil: Sang Pemelihara Semesta. Ini membantu menenangkan hati dan mengarahkan fokus ibadah dari urusan duniawi yang fana menuju kepada Sang Pemberi segalanya. Oleh karena itu, nama bacaan "Rabbil 'Alamin" bukan sekadar label ayat, melainkan sebuah pengakuan fundamental yang wajib dihidupi oleh setiap mukmin.