Kajian Surat Al-Lail Ayat 1-10

Ilustrasi Malam dan Cahaya Fajar Waktu Pertanggungjawaban

Pengantar Singkat

Surat Al-Lail (Malam) adalah surat ke-92 dalam susunan mushaf Al-Qur'an, yang diturunkan di Mekkah. Surat ini dimulai dengan sumpah Allah SWT atas fenomena alam yang agung, khususnya malam yang meliputi, sebagai landasan penting untuk memahami nilai-nilai moral dan spiritual dalam kehidupan manusia. Sepuluh ayat pertama surat ini fokus pada kontras antara malam yang menutupi dan siang yang menyinari, yang dijadikan analogi atas perbedaan jalan hidup manusia.

Ayat-ayat awal ini menekankan bahwa setiap tindakan, baik atau buruk, pada akhirnya akan terungkap dan mendapatkan balasan setimpal. Penggambaran kontras antara gelap (malam) dan terang (siang) menjadi dasar filosofis bahwa kebenaran pasti akan muncul dan tidak ada amal perbuatan yang tersembunyi dari pandangan Ilahi.

Teks Surat Al-Lail Ayat 1-10 (Latin)

1
Wallayli idza yaghsya,
(Demi) malam apabila telah gelap gulita,
2
Wannahaari idza tajalla,
dan (demi) siang apabila telah terang benderang,
3
Wama khalaqadh-dhakara wal-untha,
dan (demi) Tuhan yang menciptakan laki-laki dan perempuan,
4
Inna sa’yakum lasyatta.
sesungguhnya usahamu (amalmu) benar-benar berbeda-beda.
5
Fa ammaa man a’tha wattaqa,
Maka barangsiapa yang memberikan hartanya dan bertakwa,
6
Wa saddaqa bil husna,
dan membenarkan (adanya) pahala yang terbaik (surga),
7
Fanu yassiruhu lil yusra.
maka Kami kelak akan memudahkan baginya jalan menuju kemudahan (kebahagiaan).
8
Wa ammaa man bakhila wastaghna,
Dan adapun orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup (tidak butuh Allah),
9
Wa kadzdzaba bil husna,
dan mendustakan pahala yang terbaik (surga),
10
Fanuyu yassiruhu lil ‘usra.
maka Kami kelak akan memudahkan baginya jalan menuju kesulitan (kesengsaraan).

Penjelasan Kontras Usaha Manusia

Sumpah Allah pada ayat 1 hingga 3 mengenai malam, siang, serta penciptaan laki-laki dan perempuan berfungsi sebagai bukti nyata akan kekuasaan-Nya yang menciptakan segala sesuatu berpasangan dan berlawanan. Kontras ini kemudian diarahkan pada perbedaan fundamental dalam orientasi hidup manusia. Ayat 4 menyatakan, "Inna sa’yakum lasyatta", yang berarti usaha dan jalan hidup manusia sungguh beragam.

Ayat-ayat ini membagi manusia menjadi dua kelompok utama berdasarkan respons mereka terhadap nikmat dan kebenaran. Kelompok pertama adalah mereka yang "a’tha wattaqa" (memberi hartanya dan bertakwa). Ini menunjukkan bahwa kedermawanan (infak) harus disertai dengan kesadaran spiritual (takwa). Kunci keberhasilan di dunia dan akhirat bagi mereka adalah membenarkan janji-janji Allah yang paling baik (Al-Husna), yaitu Surga. Sebagai balasannya, Allah menjanjikan kemudahan ("fanu yassiruhu lil yusra"). Jalan menuju kebaikan akan dilapangkan oleh-Nya.

Sebaliknya, kelompok kedua adalah mereka yang cenderung kikir (bakhil) dan merasa diri sudah mapan tanpa perlu bersusah payah taat kepada Allah ("wastaghna"). Mereka juga mendustakan kebenaran tertinggi (Surga). Akibatnya, jalan menuju kesulitan ("fanuyu yassiruhu lil ‘usra") akan dipersiapkan bagi mereka. Kesulitan di sini bisa diartikan sebagai kesulitan dalam menjalani ketaatan di dunia, atau kesengsaraan yang hakiki di akhirat.

Secara esensial, sepuluh ayat pertama Al-Lail ini adalah pengingat keras bahwa tindakan konkret (memberi atau menahan, bersyukur atau mendustakan) yang dilakukan di bawah naungan malam kegelapan atau di bawah terangnya siang, semuanya tercatat dan akan menentukan jalan mana yang akan dipermudah bagi kita kelak. Kedalaman makna ini menjadikan Al-Lail sebagai renungan tentang tanggung jawab moral individu dalam menjalani eksistensi duniawi.

🏠 Homepage