Surat Al-Lail (Malam), surat ke-92 dalam urutan mushaf Al-Qur'an, adalah surat Makkiyah yang mengandung ayat-ayat yang sangat mendalam mengenai keadilan ilahi dan konsekuensi dari perbuatan manusia. Surat ini dibuka dengan serangkaian sumpah agung yang menunjukkan kekuasaan Allah SWT atas fenomena alam semesta. Ayat 1 hingga 10 secara spesifik fokus pada sumpah demi malam apabila ia menyelubungi, dan kemudian beralih pada perbedaan nasib manusia berdasarkan pilihan hidup mereka.
Sumpah-sumpah dalam Al-Qur'an selalu memiliki makna penting. Ketika Allah bersumpah dengan sesuatu, itu menunjukkan betapa agungnya objek sumpah tersebut di hadapan-Nya, sekaligus menjadi penekanan kuat terhadap pesan yang akan disampaikan setelah sumpah itu diucapkan. Dalam konteks Al-Lail ayat 1-10, sumpah ini membangun landasan bagi pemahaman bahwa segala sesuatu di alam semesta tunduk pada aturan Ilahi, termasuk perjalanan hidup manusia.
Wَal-laili idthā yaghsyā.
Wan-nahāri idthā tajallā.
Wa mā khalaqadh-dhakara wal-unthā.
Inna sa'yakum lashattā.
Fa ammā man a'ṭā wattaqā.
Wa ṣaddaqa bil-ḥusnā.
Fa sanuyassiruhū lil-yusrā.
Wa ammā man bakhila wastaghnā.
Wa kadhdhaba bil-ḥusnā.
Fa sanuyassiruhū lil-'usrā.
Ayat 1 dan 2, "Demi malam apabila menutupi (siang), dan siang apabila terang benderang," adalah sumpah yang menegaskan siklus alam yang kontras. Malam dan siang adalah dua kondisi ekstrem yang diciptakan Allah untuk mengatur kehidupan. Kontras ini menjadi landasan perbandingan bagi kontras kedua dalam ayat berikutnya: perbedaan usaha manusia.
Ayat 3 dan 4, "dan laki-laki dan perempuan yang diciptakan-Nya, sesungguhnya usaha kamu berbeda-beda," menjelaskan inti dari pertanggungjawaban manusia. Meskipun semua manusia diciptakan dalam kategori laki-laki dan perempuan, tujuan akhir dan cara mereka menjalani hidup (usaha/amal) sangat beragam. Ada yang menuju kebaikan, ada yang menuju keburukan. Keragaman usaha inilah yang akan menentukan hasil akhir di akhirat.
Selanjutnya, ayat 5 hingga 7 memberikan kabar gembira bagi mereka yang memilih jalan kebaikan. Kunci utama di sini adalah kombinasi dari dua tindakan: memberi (infak) dan bertakwa (menjaga diri dari maksiat), serta keyakinan teguh terhadap janji Allah (membenarkan Al-Husna, yaitu balasan terbaik/Surga). Bagi mereka yang melakukan ini, janji Allah adalah kemudahan. Jalan kemudahan di dunia adalah kemudahan dalam ketaatan, dan kemudahan di akhirat adalah kemudahan melewati Shirathal Mustaqim.
Sebaliknya, ayat 8 hingga 10 menjelaskan kondisi bagi mereka yang menyimpang. Sifatnya adalah kikir (bakhil), merasa diri cukup (ghani/mustaghni), dan mendustakan janji akhirat (Al-Husna). Sikap merasa diri tidak butuh kepada Allah dan menolak hari perhitungan akan dibalas dengan jalan yang sukar (Al-'Ushrā). Jalan yang sukar ini dapat berarti kesulitan dalam berbuat baik di dunia, atau kesulitan dan penderitaan luar biasa saat menghadapi hisab dan azab di akhirat.
Inti dari sepuluh ayat pertama Surat Al-Lail ini adalah penegasan kausalitas ilahi: amalan baik yang didasari ketakwaan akan menghasilkan kemudahan, sementara kekikiran yang disertai kesombongan akan menghasilkan kesulitan. Ini adalah prinsip keadilan yang berlaku universal, ditegaskan melalui sumpah atas fenomena alam raya.