Memahami Ujian Kekayaan, Kekuasaan, dan Kebaikan Duniawi
Bagian akhir dari kisah Ashabul Kahfi dalam Surah Al-Kahfi biasanya ditutup dengan pembahasan tentang perlakuan kaum terhadap penemuan mereka setelah tertidur ratusan tahun. Ayat 91 hingga 100 berfungsi sebagai penutup naratif dan pengalihan fokus penting dari kisah para pemuda pembela tauhid menuju pelajaran universal bagi umat manusia tentang dunia dan akhirat.
Fokus utama pada rentang ayat ini adalah pada konsekuensi dari penolakan terhadap kebenaran, dan bagaimana kekuasaan duniawi—sekalipun besar—tidak bernilai jika bertentangan dengan kehendak Allah SWT. Allah menjelaskan bagaimana kondisi raja zalim Dzul Qornain yang berkuasa luas berbeda dengan nasib mereka yang memilih menolak ayat-ayat Allah.
Ayat ini menjelaskan reaksi masyarakat setelah penemuan para pemuda. Terjadi perbedaan pendapat: sebagian ingin membangun monumen, sementara yang lain (yang lebih kuat pengaruhnya) mengusulkan membangun masjid (tempat ibadah) di atas gua tersebut. Ini menunjukkan pelajaran pertama: bahkan dalam urusan yang berkaitan dengan tanda kebesaran Allah, manusia cenderung berbeda pendapat dan seringkali didorong oleh kepentingan atau kekuasaan golongan.
Ayat 98 sering kali dikaitkan dengan janji Allah tentang kehancuran tirani dan penegakan keadilan sejati pada Hari Kiamat. Kontrasnya sangat jelas: kekuasaan Dzul Qarnain yang luas pada akhirnya akan luluh lantak ketika Janji Allah tiba. Hal ini menekankan kefanaan segala bentuk kekuasaan duniawi, tidak peduli seberapa besar.
Walaupun ayat 100 ini merupakan kelanjutan dari ucapan Dzul Qarnain yang memuji rahmat Tuhannya, ayat ini sering diinterpretasikan sebagai penutup kisah Dzul Qarnain dan awal dari sub-tema baru, yaitu diutusnya Nabi Muhammad SAW sebagai rahmat universal. Ayat ini mengalihkan fokus dari cerita masa lalu kepada urgensi risalah kenabian di masa kini, mengingatkan pembaca bahwa rahmat terbesar adalah petunjuk kebenaran.
Sepuluh ayat terakhir dari Surah Al-Kahfi ini memberikan pelajaran mendalam tentang cara memandang dunia. Kisah Ashabul Kahfi berakhir bukan dengan perayaan kemenangan duniawi, melainkan dengan penegasan bahwa segala struktur dan kekuasaan yang dibangun manusia—seperti bangunan yang mereka dirikan di atas gua—hanyalah sementara dan akan tunduk pada kehendak mutlak Allah.
Poin kunci yang ditekankan adalah bahwa pertaruhan akhir manusia bukanlah pada siapa yang benar dalam perselisihan politik atau pembangunan monumen (Ayat 91), melainkan pada kepastian Hari Perhitungan (Ayat 92). Bagi seorang Mukmin, semua kenikmatan duniawi, kekayaan, atau kekuasaan, harus dilihat sebagai titipan belaka yang tidak boleh menjadi penghalang dari tujuan utama, yaitu mencari keridhaan Ilahi. Kehidupan duniawi adalah ladang ujian, dan kesuksesan sejati diukur dari bagaimana kita melewati ujian tersebut tanpa terpedaya oleh kemegahannya.
Surah Al-Kahfi, secara keseluruhan, mempersiapkan jiwa untuk menghadapi empat godaan besar: godaan harta dan kekuasaan (kisah Dzul Qarnain dan pemilik kebun), godaan hawa nafsu (kisah Musa dan Khidir), godaan pemahaman ilahi (kisah Nabi Musa dan Khidir), serta godaan syirik dan kemewahan dunia (kisah Ashabul Kahfi). Ayat 91-100 menjadi penyempurna, mengingatkan bahwa akhir dari semua cerita adalah kembali kepada janji Allah yang pasti, bukan pada warisan duniawi yang fana.