Sepuluh ayat terakhir dari bagian tengah Surah Al-Kahfi, yaitu ayat 40 hingga 50, adalah untaian mutiara ajaran yang sangat fundamental dalam Islam. Ayat-ayat ini berbicara tentang kontras tajam antara hasil akhir orang yang beriman dan orang yang mengingkari nikmat Allah, khususnya dalam konteks harta kekayaan dan keturunan. Ayat-ayat ini sering menjadi pengingat penting saat seseorang membaca surah ini pada hari Jumat.
Maka, mudah-mudahan Rabb-ku akan memberikan kepadaku (tanah) yang lebih baik daripada (kebun)mu (yakni lebih baik daripada kebunnya yang sombong itu), dan Dia akan mengirimkan petir dari langit atas kebunmu, lalu kebun itu menjadi tanah yang licin (gundul).
Ayat 40 dimulai dengan harapan yang diucapkan oleh pemilik kebun yang beriman, sebagai respons terhadap kesombongan temannya. Ia memohon kepada Allah agar diberikan pengganti yang lebih baik dari kebun yang membanggakan itu. Ini mengajarkan kita bahwa nilai sejati tidak terletak pada apa yang kita miliki di dunia, melainkan pada rahmat dan karunia yang dijanjikan oleh Allah bagi mereka yang berserah diri. Bencana yang diprediksi—hukuman berupa badai atau petir—adalah konsekuensi alami dari kesombongan dan kekafiran.
Ayat-ayat selanjutnya (41-44) merinci bagaimana azab itu benar-benar datang. Kebun itu musnah, menjadi tanah yang tandus (ṣa‘īdan zalaqan). Lebih lanjut, ayat 44 menjelaskan bahwa balasan di akhirat bagi orang kafir itu pasti terjadi. Mereka kehilangan segalanya: harta, keturunan, dan pertolongan.
Di sanalah pertolongan (kekuasaan tertinggi) hanyalah milik Allah Yang Maha Benar. Dia adalah sebaik-baik Pemberi balasan dan sebaik-baik Pemberi keputusan (pembalasan).
Frasa kunci di sini adalah "al-walāyah lillāhil-ḥaqq" (kekuasaan tertinggi hanya milik Allah Yang Maha Benar). Pada saat kehancuran materi duniawi, yang tersisa hanyalah kepastian bahwa hanya Allah yang memiliki otoritas mutlak. Kemuliaan dan balasan terbaik hanya datang dari-Nya, bukan dari hasil panen atau jumlah kekayaan fana.
Ayat 45 secara gamblang membandingkan sifat duniawi dengan keabadian akhirat:
Dan perumpamakanlah kepada mereka kehidupan dunia ini, ibarat hujan yang Kami turunkan dari langit, lalu tumbuh subur tanam-tanamannya di bumi, kemudian (tanam-tanaman itu) menjadi kering dan hancur berserakan yang diterbangkan oleh angin. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Metafora air hujan yang menyuburkan bumi namun kemudian menjadi jerami kering yang dihempaskan angin adalah representasi sempurna dari kefanaan dunia. Segala kemegahan, kekayaan, dan kesenangan duniawi bersifat sementara. Ia mungkin tampak indah dan memberikan hasil sesaat, tetapi pada akhirnya akan lenyap tak bersisa, tunduk pada kehendak dan kekuasaan (Muqtadir) Allah.
Kontras ini dilanjutkan dengan penekanan pada pentingnya harta dan anak di ayat 46, yang dalam pandangan duniawi adalah perhiasan, namun dalam pandangan akhirat, amal saleh (pahala) jauh lebih berharga dan kekal.
Ayat 48 menegaskan bahwa semua pembangkangan dan kesombongan di dunia akan dibalas. Tidak ada tempat berlindung dari murka Allah. Kemudian, ayat 49-50 menutup bagian ini dengan menekankan pentingnya kitab catatan amal:
Dan diletakkanlah kitab (catatan amal), lalu kamu akan melihat orang-orang yang berdosa ketakutan karena (dosa) yang tertulis di dalamnya, dan mereka berkata, "Aduhai celakalah kami! Kitab apakah ini, yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan menghitung semuanya?" Dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan (tertulis di dalamnya). Dan Rabb-mu tidak menzalimi seorang pun.
Ayat 49 adalah peringatan keras tentang keadilan absolut Allah. Tidak ada satu pun perbuatan, sekecil apapun (ṣaghīrah) atau sebesar apapun (kabīrah), yang terlewatkan dari catatan amal. Ketika buku itu terbuka, tidak ada ruang untuk menyangkal. Ini menegaskan prinsip fundamental bahwa rezeki dan hasil akhir di akhirat sepenuhnya bergantung pada catatan amal kita, bukan pada kesenangan sesaat di dunia. Dengan ayat ini, Allah menutup perbandingan antara kekayaan yang disombongkan dan kepastian Hari Penghisaban.