Ilustrasi perjumpaan Musa dan Al-Khidr di balik tembok.
Surat Al-Kahfi, surat yang penuh dengan kisah-kisah inspiratif dan pelajaran hidup mendalam, menghadirkan dialog penting antara Nabi Musa 'alaihissalam dan hamba Allah yang saleh, Al-Khidr. Dalam narasi ini, kita diperkenalkan pada prinsip-prinsip ketuhanan yang kadang melampaui pemahaman rasional manusia biasa. Dua ayat kunci, yaitu ayat 77 dan 78, menyoroti perbedaan mendasar antara kekayaan materi dan kekayaan ilmu yang sejati.
Setelah Al-Khidr memperbaiki dinding yang hampir roboh demi dua anak yatim, Nabi Musa merasa keberatan karena Al-Khidr tidak meminta imbalan atas jasa tersebut. Ayat 77 dan 78 menjelaskan alasan Al-Khidr:
Ayat 77 menandai titik balik dalam perjalanan Musa dan Al-Khidr. Setelah tiga kali Musa menegur Al-Khidr atas tindakan yang terlihat tidak adil atau aneh (membunuh anak, merusak perahu, memperbaiki tembok tanpa upah), Al-Khidr memutuskan bahwa saatnya telah tiba untuk berpisah. Ini mengajarkan kita bahwa ada batas pemahaman manusia yang didasarkan pada ilmu lahiriah (ilmu yang dimiliki Nabi Musa).
Al-Khidr menegaskan bahwa ia akan menjelaskan hakikat di balik tindakannya. Ini adalah pengingat kuat bahwa kebijaksanaan sejati sering kali tersembunyi di balik peristiwa yang tampak buruk di permukaan. Kesabaran (shabr) Nabi Musa belum cukup untuk menahan diri dalam ketidaktahuan terhadap hikmah ilahiah yang sedang berlangsung. Dalam kehidupan sehari-hari, ini mengajarkan kita untuk berhati-hati dalam menghakimi situasi sulit atau ujian yang kita hadapi, karena mungkin ada tujuan mulia di baliknya yang belum kita pahami.
Ayat 78 memberikan contoh konkret mengapa Al-Khidr merusak perahu. Perahu itu adalah milik orang-orang miskin yang bergantung hidupnya dari laut. Jika perahu itu sempurna, raja zalim akan mengambilnya. Dengan merusak sedikit perahu tersebut—membuatnya cacat sehingga raja tidak tertarik—Al-Khidr menyelamatkan harta milik orang miskin tersebut secara keseluruhan.
Perhatikan kontras yang disajikan:
Hikmah utamanya adalah prioritas ilmu. Al-Khidr menggunakan ilmu dari sisi Allah untuk mengamankan kepentingan jangka panjang orang miskin, meskipun harus melakukan tindakan yang secara lahiriah tampak merugikan (merusak perahu). Ini kontras dengan anggapan umum yang hanya menilai dari penampilan luar.
Kisah ini menegaskan bahwa kekayaan sejati bukanlah tentang apa yang kita miliki, melainkan tentang pemahaman kita terhadap iradah dan kebijaksanaan Allah SWT. Ayat 77 hingga 78 menjadi penutup bagi babak pertama perjumpaan mereka, membuka jalan bagi pelajaran berikutnya mengenai kekayaan spiritual dan kekuasaan fana.