Surat Al-Kahfi (Gua) adalah salah satu surat terpenting dalam Al-Qur'an, terutama karena mengandung kisah-kisah peringatan yang relevan hingga akhir zaman. Di antara ayat-ayat yang penuh hikmah, ayat ke-37 seringkali menarik perhatian karena menyoroti pentingnya kesadaran spiritual dan bahaya kekafiran terhadap nikmat Allah.
Ayat ini berbicara tentang dialog antara dua orang dari kaum kafir yang secara spiritualitas saling bertentangan. Dialog ini berfungsi sebagai pengingat abadi tentang konsekuensi ingkar terhadap keesaan Allah dan penolakan terhadap hari kebangkitan.
Ayat 37 ini adalah bagian dari rangkaian ayat (35-37) yang menceritakan dialog internal di antara Ashabul Kahfi (Pemuda Ashabul Kahfi) setelah salah seorang dari mereka menjadi kafir setelah mengalami mukjizat kebangkitan dan melihat bagaimana rekannya yang musyrik memperlakukan duniawi.
Ayat sebelumnya (Ayat 36) menggambarkan respons orang kafir yang cenderung materialistis, yang menganggap harta benda duniawi (kebun dan kekayaan) sebagai segalanya dan meremehkan konsep hari kiamat. Kemudian, dalam ayat 37, muncul respons seorang mukmin yang ditujukan kepada kawannya yang masih terperangkap dalam pemikiran duniawi tersebut.
Ayat ini mengungkap tiga poin penting dalam kehidupan beragama:
Ayat ini memberikan pelajaran bahwa ketika seseorang telah diberi hidayah, ia harus tegas melawan godaan atau ajakan untuk kembali kepada kekufuran, sekecil apa pun godaan itu, bahkan jika datang dari orang terdekat.
Dalam konteks modern, tantangan yang dihadapi oleh mukmin seringkali bukan lagi penyembahan berhala secara terang-terangan, melainkan "fitnah" berupa materialisme, hedonisme, dan keraguan terhadap akhirat. Ayat 37 ini relevan karena mengingatkan kita bahwa kekayaan duniawi yang dibanggakan (seperti kebun yang disebutkan di ayat sebelumnya) adalah sementara. Fokus pada realitas spiritual dan kebenaran Ilahi jauh lebih penting daripada kepuasan sesaat duniawi.
Ketika kita dihadapkan pada pilihan antara mengikuti tren yang menjauhkan dari nilai-nilai agama atau berpegang teguh pada iman, ayat ini mendorong kita untuk menggunakan akal dan mengingat asal usul kita—bahwa kita diciptakan dan pasti akan kembali kepada Sang Pencipta. Ketegasan dalam mempertahankan keyakinan, seperti yang ditunjukkan oleh pemuda mukmin tersebut, adalah kunci keselamatan spiritual.
Penting untuk dicatat bahwa dialog ini terjadi setelah mereka sadar dari tidur panjang di gua, yang mana merupakan peristiwa luar biasa yang seharusnya membuka mata mereka terhadap keagungan Allah SWT. Namun, sayangnya, tidak semua yang menyaksikan keajaiban segera tercerahkan; sebagian tetap berpegang pada prasangka lama mereka.