Ilustrasi: Kontras antara kekayaan dunia dan keabadian akhirat.
Bagian akhir dari Surat Al-Kahfi (Surat ke-18 dalam Al-Qur'an) menyajikan sebuah perenungan mendalam mengenai nilai sejati kehidupan. Setelah menceritakan kisah Ashabul Kahfi dan kisah pemuda yang menyombongkan hartanya (pemilik dua kebun), ayat 100 hingga 110 secara khusus menyoroti konsekuensi dari orientasi hidup yang hanya tertuju pada kesenangan duniawi.
Fokus utama pada rentang ayat ini adalah perbandingan kontras antara mereka yang mengejar harta dan kesenangan fana, serta mereka yang beramal saleh dan beriman kepada Hari Akhir. Ayat-ayat ini berfungsi sebagai peringatan keras bahwa kemewahan duniawi tidak akan berarti apa-apa di hadapan pertanggungjawaban ilahi.
Ayat 100-103 secara spesifik menggambarkan kondisi orang-orang kafir dan zalim pada hari Kiamat. Mereka digambarkan sangat berharap jika mereka dahulu tidak menyekutukan Allah, namun penyesalan itu datang terlambat.
Inti dari ayat-ayat ini adalah penegasan bahwa kekayaan dan kekuasaan duniawi yang dicapai melalui kesyirikan dan penolakan terhadap kebenaran, akan menjadi nol besar di timbangan amal akhirat.
Ayat ini mengajarkan prinsip fundamental: akidah (keyakinan) adalah landasan segala amal. Amal saleh sekecil apapun yang didasari keimanan sejati akan bernilai, sementara amal yang didasari kesyirikan atau pengingkaran terhadap Hari Pembalasan, meskipun terlihat besar di dunia, tidak memiliki bobot apa pun di sisi Allah SWT.
Selanjutnya, ayat 103 memicu respons langsung dari Nabi Muhammad SAW, meminta beliau untuk menyampaikan peringatan kepada mereka yang telah salah perhitungan tentang siapa pelindung dan penolong sejati mereka.
Setelah menegaskan nasib kaum yang ingkar, ayat-ayat berikutnya (104-110) menyajikan perbandingan dengan golongan yang benar-benar beruntung, yaitu mereka yang beramal berdasarkan petunjuk Al-Qur'an dan siap menghadapi pertemuan dengan Tuhan mereka.
Orang yang paling merugi adalah mereka yang merasa puas dengan usaha duniawi mereka ("mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya"), namun landasan amal mereka salah. Kesombongan intelektual dan spiritual menjadi penyebab utama kerugian total mereka.
Ini adalah puncak perbandingan. Janji bagi orang beriman adalah Surga Firdaus yang bersifat kekal (abadi), kontras dengan kekayaan pemilik kebun yang fana (sementara). Keindahan Surga dan kemuliaan firman Allah jauh melampaui pemahaman terbatas manusia.
Penggambaran lautan sebagai tinta (Ayat 109) merupakan metafora klasik dalam Al-Qur'an yang menunjukkan betapa luas dan tak terhingga ilmu Allah dan keagungan firman-Nya. Tidak ada ciptaan di bumi yang mampu mencakupnya, menegaskan bahwa fokus manusia seharusnya bukan pada hal-hal yang terbatas (harta dunia), melainkan pada Tuhan yang tak terbatas.
Ayat penutup Surat Al-Kahfi ini menjadi rangkuman seluruh pesan utama surat tersebut: Tauhid (mengesakan Allah) dan Amal Saleh. Nabi Muhammad SAW menegaskan posisi beliau sebagai pembawa wahyu, bukan Tuhan. Peringatan terakhir ini adalah ajakan untuk menjauhi kesyirikan dan fokus total pada amal saleh yang ikhlas sebagai bekal utama menghadapi perjumpaan abadi dengan Allah SWT.