Refleksi Mendalam Surah Al-Kahfi Ayat 62 hingga 82

Visualisasi Perjalanan Ilmu dan Batasan Pengetahuan Titik Awal Batasan Tujuan

Kisah Nabi Musa AS bersama hamba Allah yang saleh (sering diidentifikasi sebagai Nabi Khidir AS) dalam Surah Al-Kahfi, khususnya pada rentang ayat 62 hingga 82, menyajikan pelajaran mendalam tentang keterbatasan ilmu manusia, hikmah di balik peristiwa yang tampak buruk, dan pentingnya kesabaran dalam menuntut ilmu.

Permulaan Perjalanan dan Batasan Ilmu (Ayat 62-65)

Ayat-ayat pembuka perbincangan ini menyoroti momen ketika Nabi Musa dan pengikutnya tiba di titik pertemuan yang mereka janjikan, namun mereka melupakan ikannya. Kelalaian ini menjadi titik awal bagi Musa untuk menyadari bahwa manusia memiliki keterbatasan, bahkan seorang Nabi sekalipun.

فَلَمَّا جَاوَزَا قَالَ لِفَتَىٰهُ آتِنَا غَدَاءَنَا لَقَدْ لَقِينَا مِن سَفَرِنَا هَٰذَا نَصَبًا

(Al-Kahfi: 62)

Ketika keduanya telah melewati (tempat pertemuan itu), berkatalah Musa kepada muridnya: "Bawalah kemari makanan kita; sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini."

Respons Musa menunjukkan kelelahan fisik dan mentalnya. Namun, jawaban dari muridnya—atau dalam beberapa tafsir, Khidir sendiri—mengisyaratkan bahwa kelupaan itu ternyata merupakan bagian dari rencana Allah. Ini adalah pelajaran pertama: apa yang tampak sebagai kesalahan manusiawi terkadang adalah pintu gerbang menuju pengetahuan yang lebih tinggi.

Ayat 64 menegaskan bahwa pertemuan ini adalah sebuah janji dan ujian. Musa diperintahkan untuk kembali mengikuti jejak mereka: "Itulah tempat yang kita cari." Perintah ini menggarisbawahi bahwa ilmu yang dicari tidak datang secara tiba-tiba, melainkan melalui proses pencarian yang disiplin dan mengikuti petunjuk yang diberikan.

Hikmah di Balik Perbuatan yang Tak Terpahami (Ayat 66-75)

Bagian tengah kisah ini adalah inti dari ketidakmampuan Musa memahami tindakan Khidir. Ketika Musa meminta izin untuk mengikuti, Khidir memberikan syarat tegas: "Kamu sekali-kali tidak akan sanggup bersabar menyertaiku."

Tiga peristiwa besar menjadi ujian kesabaran Musa: melubangi perahu, membunuh seorang anak laki-laki, dan memperbaiki dinding yang hampir roboh. Dalam setiap kejadian, Musa bereaksi berdasarkan standar keadilan dan logika manusiawi yang terbatas.

أَمَّا السَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِينَ يَعْمَلُونَ فِي الْبَحْرِ فَأَرَدتُّ أَنْ أَعِيبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُم مَّلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا

(Al-Kahfi: 79)

Adapun perahu, maka ia adalah milik orang-orang miskin yang bekerja di laut; dan aku bermaksud hendak merusaknya, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas setiap perahu (yang baik) secara paksa.

Pelepasan kisah ini menunjukkan prinsip tauhid dalam konteks perbuatan tersembunyi (ghaib). Tindakan Khidir melubangi perahu bukan untuk merusak, melainkan untuk menyelamatkan dari raja yang zalim (yang akan merampas perahu yang sempurna). Membunuh anak laki-laki adalah untuk menyelamatkan orang tuanya dari kekufuran. Setiap "keburukan" yang dilihat Musa ternyata adalah tindakan pencegahan yang didasari oleh pengetahuan ilahi tentang masa depan.

Puncak Pemahaman dan Perpisahan (Ayat 76-82)

Setelah peristiwa dinding yang hampir roboh, di mana Musa gagal menahan diri untuk ketiga kalinya, Khidir akhirnya mengungkapkan seluruh hikmah di balik tindakannya. Ini adalah momen pencerahan bagi Nabi Musa.

Ayat 78 menandai batas ilmu yang dimiliki Khidir, yang juga merupakan batas ilmu yang diajarkan kepadanya: "Inilah perpisahan antara aku dan kamu." Ilmu Khidir bersumber dari sisi lain (ilmu ladunni), sementara Musa dibebani oleh ilmu yang bersifat syariat dan penjelasan rasional.

Pelajaran terbesar datang di ayat terakhir rentang ini (Ayat 82), yang menjadi rangkuman ajaran bagi umat manusia:

وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ كَانَ تَحْتَهُ كَنزٌ لَّهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَن يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنزَهُمَا رَحْمَةً مِّن رَّبِّكَ ۚ وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي ۚ ذَٰلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ تَسْطِع عَّلَيْهِ صَبْرًا

(Al-Kahfi: 82)

Adapun dinding itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya terdapat harta benda simpanan milik mereka berdua, dan ayah mereka adalah orang yang saleh. Maka Tuhanmu menghendaki supaya mereka itu menjadi dewasa dan mengeluarkan simpanan mereka itu sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan aku sekali-kali tidak melakukannya itu menurut kehendakku sendiri. Itulah sebabnya dengan penjelasan ini, aku tidak dapat bersabar menyertaimu."

Ayat ini menjelaskan bahwa tindakan memelihara harta warisan untuk anak yatim adalah rahmat dari Allah. Hal ini menunjukkan bahwa kesalehan orang tua dapat menjadi sebab pertolongan Allah bagi keturunannya di masa depan. Semua peristiwa, baik yang tampak adil maupun yang tampak zalim, pada hakikatnya adalah manifestasi dari rahmat dan kehendak Allah.

Kesimpulan Tentang Ilmu dan Tawakkal

Surah Al-Kahfi 62-82 mengajarkan bahwa pemahaman penuh atas hikmah ilahi seringkali berada di luar jangkauan nalar manusiawi saat ini. Sebagai Muslim, kita dituntut untuk memiliki iman yang kuat (tawakkal) bahwa di balik setiap kesulitan atau kejadian yang membingungkan, terdapat tujuan yang lebih besar, yaitu mendatangkan kebaikan atau mencegah keburukan di kemudian hari. Kisah Musa dan Khidir adalah cetak biru tentang kerendahan hati intelektual dan kesabaran spiritual.

🏠 Homepage