"Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit, dan mereka tidak akan masuk Surga hingga unta masuk ke lubang jarum. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat jahat." (QS. Al-Kahfi: 101)
Surah Al-Kahfi, yang sering dibaca umat Islam pada hari Jumat, mengandung kisah-kisah penuh hikmah yang berfungsi sebagai peringatan dan petunjuk. Ayat 101 ini merupakan bagian penutup dari rangkaian kisah Ashabul Kahfi (pemuda Ashabul Kahfi) dan menjadi penekanan kuat mengenai konsekuensi dari kesombongan dan penolakan terhadap kebenaran Allah SWT.
Ayat ini secara spesifik menyoroti dua jenis dosa besar yang menghalangi seseorang meraih rahmat dan surga Allah: **mendustakan ayat-ayat-Nya** dan **bersikap sombong (angkuh) terhadap ayat-ayat tersebut.** Kedua sifat ini seringkali berjalan beriringan. Seseorang yang hatinya telah tertutup karena kesombongan akan secara otomatis menolak petunjuk yang datang, meskipun bukti kebenarannya sangat jelas.
Peringatan dalam ayat ini sangat keras dan menggunakan metafora yang sangat gamblang: "mereka tidak akan masuk Surga hingga unta masuk ke lubang jarum." Perumpamaan ini dikenal sebagai tamsil (perumpamaan) yang mustahil terjadi di dunia nyata. Tujuannya bukan untuk menunjukkan bahwa suatu saat unta akan bisa masuk lubang jarum, melainkan untuk menegaskan **kepastian** bahwa selama mereka masih dalam kesombongan dan penolakan, pintu surga terkunci rapat bagi mereka.
Metafora "pintu-pintu langit tidak dibukakan bagi mereka" juga memberikan gambaran tentang hilangnya akses spiritual dan rahmat ilahi. Ketika seseorang menolak kebenaran, ia terputus dari sumber cahaya dan pertolongan surgawi. Di akhirat, pembalasan ini berupa penolakan total terhadap segala bentuk kemuliaan.
Meskipun ayat ini berbicara tentang hari akhir, relevansinya sangat terasa dalam kehidupan sehari-hari. Banyak orang mungkin tidak secara terang-terangan mendustakan Al-Qur'an, namun kesombongan bisa muncul dalam bentuk meremehkan ajaran agama, merasa lebih pintar dari tuntunan ilahi, atau enggan mengakui kesalahan diri sendiri.
Kisah dan peringatan ini mengingatkan kita bahwa jalan menuju surga memerlukan kerendahan hati. Kerendahan hati (tawadhu') adalah kunci untuk menerima petunjuk dan membersihkan hati dari arogansi. Mengakui kelemahan diri di hadapan kebesaran Allah adalah langkah pertama untuk meraih rahmat-Nya. Sebaliknya, kesombongan adalah penghalang yang kokoh, sekuat dinding yang memisahkan antara janji surga dan realitas neraka.
Bagian dari Surah Al-Kahfi secara keseluruhan membahas ujian duniawi—harta, kekuasaan, ilmu, dan usia panjang (seperti dalam kisah pemilik kebun dan kisah Nabi Musa dengan Khidir). Ayat 101 berfungsi sebagai kesimpulan bahwa seberapa pun banyak kekayaan atau kekuasaan yang diperoleh di dunia, itu tidak akan berarti jika diiringi dengan kesombongan hati yang menolak kebenaran Allah.
Oleh karena itu, memahami Surah Al-Kahfi ayat 101 mendorong seorang mukmin untuk senantiasa introspeksi. Apakah ada sedikit saja kesombongan yang menghambat kedekatan kita dengan Allah? Pertanyaan ini krusial, sebab balasan yang dijanjikan bagi orang-orang yang berbuat jahat (karena mendustakan dan sombong) adalah kepastian azab dan terhalangnya akses menuju kenikmatan abadi. Kita harus terus berusaha membuang sifat angkuh, memohon ampun, dan menempatkan ketaatan di atas ego pribadi.