Surah Al-Kahfi, surat ke-18 dalam Al-Qur'an, adalah salah satu surat yang sarat dengan hikmah dan petunjuk ilahi. Di dalamnya terkandung kisah-kisah monumental tentang Ashabul Kahfi (pemuda Ashabuz-Kahfi), kisah Nabi Musa dengan Khidir, kisah Dzulkarnain, serta perumpamaan tentang kekayaan duniawi. Namun, penutup dari surat agung ini, khususnya sepuluh ayat terakhir, memiliki kedudukan dan keutamaan yang sangat istimewa bagi setiap Muslim.
Membaca sepuluh ayat akhir Surah Al-Kahfi sering kali dikaitkan dengan perlindungan dari fitnah Dajjal, salah satu ujian terbesar di akhir zaman. Keutamaan ini menjadikan ayat-ayat tersebut bacaan rutin yang sangat dianjurkan, terutama di hari Jumat.
Sepuluh ayat terakhir, mulai dari ayat ke-101 hingga ayat ke-110, menyajikan ringkasan yang kuat tentang konsekuensi dari pilihan hidup manusia. Ayat-ayat ini memberikan kontras tajam antara mereka yang berpaling dari mengingat Allah dan mereka yang mempersiapkan diri untuk Hari Akhir.
Ayat-ayat ini berfungsi sebagai penegasan kembali bahwa dunia adalah tempat persinggahan sementara. Allah SWT mengingatkan bahwa amal perbuatan kitalah yang akan menentukan kedudukan kita di sisi-Nya.
Ayat 110 ini adalah kesimpulan pamungkas dari seluruh ajaran yang disampaikan dalam Al-Kahfi. Ia menekankan dua pilar utama kebahagiaan ukhrawi: amal saleh dan tauhid yang murni (ikhlas). Tidak ada jalan lain menuju perjumpaan yang diridai Allah selain melalui ketaatan total dan menjauhi segala bentuk kesyirikan.
Mengapa sepuluh ayat terakhir ini begitu erat kaitannya dengan perlindungan dari Dajjal? Para ulama menjelaskan bahwa fitnah terbesar Dajjal adalah daya tarik terhadap dunia, kekuasaan, dan penyesatan akidah. Fitnah ini menyerupai godaan harta dan kekal abadilah yang dialami oleh pemilik kebun dalam kisah di awal surah.
Ayat-ayat penutup ini secara langsung memberikan "obat" penawar terhadap fitnah tersebut. Jika seseorang telah menancapkan prinsip tauhid yang kokoh dan memiliki semangat untuk beramal saleh tanpa pamrih, maka godaan materi dan ilusi kekuasaan yang dibawa Dajjal tidak akan mampu menggoyahkan imannya.
Kita diingatkan bahwa semua keindahan dunia ini hanyalah perhiasan yang fana. Surat Al-Kahfi mengajarkan keseimbangan. Pemuda Ashabuz-Kahfi lari dari kaum yang menyembah selain Allah, dan berakhir dengan karunia ilahi yang luar biasa. Surat ini mendorong kita untuk selalu menempatkan akhirat sebagai tujuan utama, sebagaimana tercermin dalam ajaran ayat-ayat penutup.
Konsep "falyakmul 'amalan shālihan" (maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh) sangat luas cakupannya. Ini mencakup shalat, puasa, sedekah, berbakti pada orang tua, silaturahmi, hingga amar ma'ruf nahi munkar. Namun, amal saleh ini harus diikat erat dengan syarat kedua: "wa lā yushrik bi 'ibādati rabbihī ahadā" (dan jangan ia mempersekutukan seorang pun dalam ibadah kepada Tuhannya).
Ikhlas adalah bumbu yang membuat amal menjadi bernilai di sisi Allah. Tanpa keikhlasan, amal sebanyak apapun bisa menjadi sia-sia, bahkan menjadi bumerang pada hari perhitungan. Sepuluh ayat terakhir ini adalah pengingat abadi bahwa kualitas amal jauh lebih penting daripada kuantitasnya jika tidak disertai kemurnian niat.
Dengan merenungkan ayat-ayat ini secara rutin, seorang Muslim akan membangun benteng spiritual yang kuat. Pemahaman mendalam terhadap makna sepuluh ayat akhir Surah Al-Kahfi bukan sekadar ritual pembacaan, tetapi merupakan komitmen seumur hidup untuk hidup dalam ketundukan total kepada Allah SWT, mempersiapkan diri sebaik-baiknya untuk hari ketika segala perhiasan dunia telah lenyap.