Surah Ad-Dhuha (Dhuha), yang berarti "Waktu Duha" atau "Pagi Hari", adalah surat ke-93 dalam Al-Qur'an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW pada saat beliau mengalami periode kesedihan dan kekosongan batin. Surat ini berfungsi sebagai peneguhan ilahi, pengingat akan rahmat Allah SWT yang tak terhingga, bahkan ketika manusia merasa ditinggalkan atau diuji.
Setelah Allah SWT bersumpah demi waktu duha dan malam yang sunyi dalam ayat-ayat sebelumnya, inti peneguhan tersebut mencapai klimaksnya pada ayat penutup, yaitu Surah Ad-Dhuha ayat 11. Ayat ini secara spesifik memerintahkan penerima wahyu—dan secara universal kepada seluruh umat manusia—untuk mengakui dan menyebarkan nikmat yang telah Allah berikan.
Ayat 11 ini mengandung perintah yang jelas dan lugas: "Fahaddits" (maka hendaklah kamu menceritakan). Ini bukan sekadar anjuran, melainkan sebuah instruksi ilahi mengenai bagaimana seorang mukmin harus merespons karunia yang diterimanya. Dalam konteks turunnya ayat ini, Nabi Muhammad SAW baru saja diingatkan bahwa Allah tidak meninggalkan beliau (sebagaimana disebutkan dalam ayat 3). Oleh karena itu, reaksi yang paling tepat adalah memberitakan kabar baik ini kepada umatnya.
Penceritaan nikmat ini memiliki dimensi spiritual dan sosial yang mendalam. Secara spiritual, ini adalah bentuk tertinggi dari rasa syukur (syukur). Ketika kita menceritakan bagaimana Allah menolong kita melewati kesulitan, kita sedang menegaskan kembali keesaan dan kemahakuasaan-Nya dalam kehidupan kita sehari-hari. Kita mengubah pengalaman pribadi menjadi kesaksian iman.
Namun, fokus ayat ini melampaui syukur personal. Perintah "ceritakanlah" menyiratkan bahwa nikmat Allah bukanlah milik pribadi yang harus disembunyikan, melainkan sebuah aset publik yang harus disebarkan. Mengapa ini penting?
Dalam beberapa tafsir, kata "ceritakanlah" sering dikontraskan dengan tindakan "menyembunyikan" atau "melupakan" nikmat. Ada kisah bahwa ketika seseorang diuji dengan kemudahan, ia cenderung menjadi pelit atau lupa daratan. Sebaliknya, ketika diuji dengan kesulitan, ia cenderung mengeluh tanpa menyebutkan kemudahan yang pernah diraih sebelumnya. Surah Ad-Dhuha mengajarkan keseimbangan: baik saat lapang maupun sempit, narasi utama kehidupan kita harus selalu berpusat pada kemurahan Allah.
Jadi, ketika kita merenungkan Surah Ad-Dhuha ayat 11, kita diingatkan bahwa syukur bukan hanya ritual ucapan "Alhamdulillah", tetapi juga tindakan aktif berupa komunikasi dan pengakuan. Ia menuntut kita untuk menjadi penyebar kabar baik, menjadi saksi atas rahmat yang kita alami sendiri. Dalam dunia yang seringkali penuh berita negatif, tugas kita sebagai Muslim adalah memastikan bahwa suara tentang kemurahan Tuhan tetap bergema, mengingatkan bahwa setelah kegelapan pasti datang waktu dhuha, dan bahwa Allah SWT tidak pernah meninggalkan hamba-Nya yang bersabar dan bertawakal.