Surah Al-Kafirun (QS. 109) merupakan salah satu surah pendek dalam Al-Qur'an yang memiliki kedudukan istimewa. Selain dikenal sebagai penangkal sihir dan pelindung dari kesyirikan, surah ini juga sarat akan makna penegasan prinsip keimanan yang teguh. Latar belakang historis atau sebab turunnya Surah Al-Kafirun berkaitan erat dengan tekanan dan upaya kaum musyrikin Mekkah untuk mengajak Rasulullah SAW berkompromi dalam masalah ibadah dan akidah.
Pada periode awal kenabian di Mekkah, tekanan yang dihadapi oleh Nabi Muhammad SAW semakin meningkat. Kaum Quraisy, yang sangat terikat pada tradisi paganisme dan penyembahan berhala, merasa terganggu dengan ajaran tauhid yang dibawa oleh Islam. Mereka sadar bahwa Islam mengancam tatanan sosial, ekonomi, dan spiritual mereka.
Riwayat menyebutkan bahwa beberapa tokoh terkemuka dari Quraisy datang menemui Rasulullah SAW dengan maksud menawarkan negosiasi. Mereka tidak menginginkan permusuhan berlarut-larut, tetapi mereka bersyarat. Tawaran mereka sering kali berupa sistem saling menghormati keyakinan secara temporer, yang pada intinya adalah permintaan kompromi dalam ranah akidah.
Secara umum, inti dari permintaan tersebut dapat dirangkum dalam beberapa poin yang diajukan oleh para pemimpin Mekkah kepada Nabi Muhammad SAW:
Permintaan ini, meskipun tampak moderat di permukaan, pada hakikatnya adalah upaya untuk melemahkan inti risalah Islam, yaitu pengakuan bahwa hanya Allah yang berhak disembah. Menyetujui kompromi akidah seperti ini berarti menodai kemurnian tauhid yang menjadi pondasi agama Islam.
Menanggapi upaya negosiasi yang mengandung unsur pelemahan prinsip tauhid tersebut, Allah SWT menurunkan Surah Al-Kafirun sebagai jawaban definitif dan tegas dari sisi ilahi. Surah ini bukan hanya merupakan sabda Nabi, melainkan firman langsung dari Tuhan yang menetapkan garis batas antara kebenaran (Islam) dan kebatilan (kekufuran).
"Katakanlah (Muhammad): 'Hai orang-orang kafir! Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak (pula) menyembah apa yang aku sembah. Bagiku agamaku, dan bagimu agamamu.'" (QS. Al-Kafirun: 1-6)
Ayat ini menegaskan pemisahan total (bara’ah) dalam ranah ibadah dan akidah. Kata "Kafirun" sendiri berarti orang-orang yang mengingkari kebenaran. Surah ini menjadi penolakan keras terhadap segala bentuk sinkretisme atau pencampuran antara tauhid murni dan kesyirikan.
Meskipun sebab turunnya berkaitan dengan peristiwa spesifik di Mekkah, pelajaran yang terkandung di dalamnya bersifat universal dan abadi. Surah Al-Kafirun menjadi prinsip dasar toleransi yang benar dalam Islam. Toleransi dalam muamalah (hubungan sosial) sangat ditekankan, namun dalam ranah ibadah dan keyakinan fundamental, tidak ada ruang untuk kompromi yang merusak prinsip ketuhanan.
Imam Fakhruddin Ar-Razi menafsirkan bahwa surah ini adalah pembatalan segala bentuk persekutuan dengan orang-orang musyrik dalam ibadah. Ini mengajarkan umat Islam untuk teguh berpegang pada syariat Allah, tanpa gentar terhadap tekanan sosial atau godaan negosiasi yang mengorbankan kebenaran inti ajaran. Oleh karena itu, surah ini sering dibaca Rasulullah SAW saat melaksanakan shalat sunnah rawatib dan Witir, sebagai penegasan konsistensi aqidah dalam setiap amal ibadah.
Dengan demikian, sebab turunnya Surah Al-Kafirun adalah respons ilahi terhadap upaya kaum musyrikin Mekkah untuk mendistorsi atau mereduksi kemurnian ajaran tauhid melalui jalan kompromi ibadah, yang kemudian menghasilkan ketegasan prinsip pemisahan aqidah yang final.