Surat Al-Ikhlas, yang merupakan surat ke-112 dalam susunan mushaf Al-Qur'an, memiliki kedudukan yang sangat tinggi dalam Islam. Keistimewaan surat yang hanya terdiri dari empat ayat ini bukan hanya terletak pada lafalnya yang ringkas, tetapi terutama pada substansi maknanya yang merupakan inti dari ajaran tauhid, yaitu pengesaan Allah SWT. Pertanyaan mengenai sebab turunnya surat Al Ikhlas sering muncul karena betapa fundamentalnya pesan yang dibawanya.
Mayoritas ulama tafsir sepakat bahwa Surat Al-Ikhlas (Qul Huwallahu Ahad) turun sebagai jawaban langsung terhadap pertanyaan yang diajukan oleh kaum musyrikin Mekkah kepada Rasulullah Muhammad SAW mengenai hakikat Tuhan yang beliau seru. Para penanya ini ingin mengetahui nasab (silsilah), wujud, dan sifat Tuhan yang diperkenalkan oleh Nabi Muhammad. Mereka tidak bisa menerima konsep ketuhanan yang abstrak dan tidak memiliki tandingan atau perbandingan.
Dalam riwayat yang shahih, seringkali dikisahkan bahwa para penyembah berhala mendatangi Nabi Muhammad SAW dengan maksud menguji kebenaran risalahnya. Mereka berkata, "Wahai Muhammad, jelaskanlah kepada kami tentang Tuhanmu itu. Apakah Dia terbuat dari emas, perak, terbuat dari kayu, atau terbuat dari apa?" Pertanyaan provokatif ini bertujuan untuk menjebak Nabi dalam kerangka pemikiran antropomorfisme atau politeisme yang lazim mereka anut.
Sebuah riwayat menyebutkan bahwa orang-orang Quraisy datang dan bertanya, "Sifatkanlah Tuhanmu kepada kami." Maka turunlah surat Al-Ikhlas. (Diriwayatkan oleh Tirmidzi, Ahmad, dan Ibnu Jarir dari Ubay bin Ka’ab).
Menanggapi permintaan untuk mendefinisikan Dzat-Nya, Allah SWT menurunkan wahyu yang tidak memberikan deskripsi fisik atau perbandingan (karena hal itu mustahil bagi Dzat Yang Maha Sempurna), melainkan memberikan definisi murni tentang keesaan-Nya. Inilah esensi dari sebab turunnya surat Al Ikhlas: untuk menegaskan kemurnian konsep tauhid Islam di hadapan keraguan atau kesalahpahaman kaum pagan.
Ayat pertama, "Qul Huwallahu Ahad" (Katakanlah: Dialah Allah, Yang Maha Esa), adalah bantahan telak terhadap politeisme dan penolakan terhadap segala bentuk persekutuan. Kata "Ahad" (Maha Esa) memiliki makna yang lebih mendalam daripada "Wahid" (satu). "Wahid" bisa berarti satu dari banyak, sementara "Ahad" menegaskan keunikan absolut, tidak ada yang setara, tidak ada yang terdahulu sebelum-Nya, dan tidak akan ada lagi setelah-Nya.
Ayat kedua, "Allahuṣ-Ṣamad" (Allah Yang Maha Dibutuhkan/Tempat Bergantung), menjelaskan fungsi-Nya sebagai satu-satunya entitas yang absolut kebutuhannya. Seluruh makhluk bergantung kepada-Nya, sementara Dia Maha Kaya dan tidak bergantung kepada siapapun. Inilah jawaban atas pertanyaan tentang "materi" apa Tuhan itu; Dia adalah Zat tempat semua kebutuhan berakhir.
Ayat ketiga, "Lam Yalid wa lam Yūlad" (Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan), adalah penegasan radikal terhadap konsep ketuhanan yang melampaui batasan biologis dan geneologis. Ini secara langsung menolak anggapan bahwa Tuhan bisa memiliki keturunan (seperti anggapan sebagian Yahudi bahwa Uzair adalah anak Allah, atau sebagian Nasrani bahwa Isa adalah anak Allah) atau bahwa Tuhan dilahirkan dari entitas lain.
Dan ayat terakhir, "Wa lam Yakul Lahū Kufuwan Ahad" (Dan tiada seorangpun yang menyamai Dia), menutup definisi tauhid dengan penekanan mutlak akan kesempurnaan dan keunikan-Nya. Tidak ada satu pun dalam ciptaan yang bisa menjadi tolok ukur atau perbandingan bagi Allah SWT.
Setelah mengetahui sebab turunnya surat Al Ikhlas, penting untuk memahami mengapa surat ini begitu diagungkan. Rasulullah SAW bersabda bahwa Al-Ikhlas setara dengan sepertiga Al-Qur'an. Kesetaraan ini bukan dalam jumlah ayat, melainkan dalam kedalaman kandungan ajaran.
Al-Qur'an secara umum terbagi menjadi tiga tema besar: Keesaan Allah (Tauhid), Kisah-kisah (Qishash), dan Hukum-hukum (Ahkam). Surat Al-Ikhlas fokus secara eksklusif dan sempurna pada tema tauhid. Oleh karena itu, membacanya seolah-olah telah merangkum prinsip dasar keimanan Islam.
Mengimani makna surat ini secara mendalam berarti memurnikan ibadah dan keyakinan dari segala bentuk syirik atau keraguan terhadap keesaan Allah SWT. Surat ini menjadi benteng akidah yang kokoh, menjelaskan siapa Allah sesungguhnya, tanpa perlu perbandingan atau penyesuaian dengan pemahaman makhluk yang terbatas.