Frasa Arab klasik, "La Yaslaha Illal Ashqa", meskipun singkat, menyimpan filosofi hidup yang mendalam dan universal. Secara harfiah, ungkapan ini diterjemahkan sebagai "Tidak ada yang menjadi baik/lurus kecuali dengan kesulitan" atau "Tidak ada perbaikan (islah) kecuali melalui kesulitan (ashqa)". Inti dari ajaran ini adalah penegasan bahwa kemajuan sejati, pencapaian besar, atau perbaikan kondisi—baik dalam ranah spiritual, intelektual, maupun material—selalu memerlukan usaha keras, ketekunan, dan kesiapan menghadapi tantangan.
Memahami Konsep 'Ashqa' (Kesulitan)
Kata 'Ashqa' (صعوبة) di sini bukan sekadar merujuk pada hambatan biasa, melainkan kesulitan signifikan yang menguji batas kemampuan seseorang. Dalam banyak konteks, kesulitan dianggap sebagai katalisator. Ibarat biji yang harus menembus tanah keras agar bisa tumbuh menjadi pohon yang kokoh, manusia pun perlu melalui tekanan untuk membentuk karakter yang kuat dan mencapai potensi tertingginya. Jika segalanya datang dengan mudah, nilai dari pencapaian tersebut akan berkurang, dan ketahanan diri (resilience) tidak akan pernah terbentuk.
Ilustrasi: Pendakian menuju puncak membutuhkan usaha keras.
Penerapan dalam Pembelajaran dan Keahlian
Prinsip "La Yaslaha Illal Ashqa" sangat relevan dalam pengembangan keahlian apa pun. Misalnya, menguasai bahasa asing, memprogram komputer, atau mempelajari instrumen musik memerlukan jam terbang yang diisi dengan kesalahan, pengulangan, dan frustrasi. Seseorang yang berhenti pada kesulitan pertama (ashqa) tidak akan pernah mencapai kemahiran (islah). Ilmuwan besar, seniman ulung, dan atlet elit adalah bukti nyata bahwa kemajuan diperoleh setelah melalui fase kegagalan berulang yang direspon dengan peningkatan upaya.
Banyak orang mendambakan hasil tanpa ingin membayar harganya. Mereka melihat hasil akhir yang memukau, namun mengabaikan proses panjang yang penuh pengorbanan. Frasa ini mengingatkan kita bahwa keberhasilan sejati adalah residu dari perjuangan yang gigih. Ia menolak gagasan tentang jalan pintas menuju kualitas tertinggi. Setiap kemajuan yang signifikan selalu dibayar dengan "biaya" berupa waktu, tenaga, dan mental yang teruji.
Dimensi Spiritual dan Moral
Dalam konteks spiritual, kesulitan seringkali dilihat sebagai ujian keikhlasan. Jika ibadah atau perbaikan moral seseorang hanya terjadi saat lingkungannya mendukung dan kondisinya nyaman, maka kebaikan tersebut rapuh. Kebaikan yang sesungguhnya teruji ketika seseorang memilih untuk tetap teguh pada prinsipnya saat menghadapi godaan besar, tekanan sosial, atau kerugian pribadi. Keimanan yang kokoh tidak muncul dari ketenangan, melainkan dari kemampuan menjaga konsistensi di tengah badai kehidupan.
Oleh karena itu, ketika kita menghadapi hambatan, alih-alih mengeluh tentang betapa sulitnya jalan tersebut, kita seharusnya melihatnya sebagai kesempatan yang diberikan. Kesulitan adalah pintu gerbang. "La Yaslaha Illal Ashqa" mengajak kita untuk mengubah perspektif: kesulitan bukanlah hukuman, melainkan prasyarat mutlak untuk mencapai level terbaik dari diri kita. Tanpa perjuangan yang berarti, perubahan yang langgeng mustahil terjadi.
Menyambut Tantangan dengan Mentalitas yang Benar
Memahami makna ini mendorong pembentukan mentalitas pertumbuhan (growth mindset). Jika seseorang yakin bahwa kesulitan adalah jalan menuju perbaikan, ia akan lebih proaktif dalam mencari solusi daripada menghindarinya. Ini berarti belajar menerima bahwa rasa tidak nyaman adalah bagian inheren dari proses pendewasaan. Baik itu dalam membangun bisnis, memperbaiki hubungan yang rusak, atau mencapai kesehatan fisik yang optimal, langkah pertama menuju perbaikan adalah mengakui bahwa jalan di depan tidak akan mudah, namun hasil akhirnya akan sangat bernilai.
Kesimpulannya, frasa La Yaslaha Illal Ashqa adalah sebuah prinsip abadi yang menegaskan bahwa kualitas dan kemajuan tidak dapat dipisahkan dari perjuangan. Ia adalah seruan untuk berani menghadapi kesulitan sebagai mitra dalam pencapaian, bukan sebagai musuh yang harus dihindari.