Adzan, panggilan suci untuk menunaikan salat, adalah salah satu ritual paling fundamental dalam Islam. Meskipun esensi panggilannya sama—mengajak umat Muslim mengingat Tuhan—terdapat variasi praktik yang muncul dari perbedaan mazhab fikih, termasuk dalam tradisi Syiah. Memahami perbedaan ini penting untuk apresiasi keragaman praktik keagamaan di dunia Islam.
Secara umum, adzan terdiri dari serangkaian frasa spesifik yang diucapkan oleh seorang muazin. Frasa-frasa ini mengesakan Allah, menegaskan kerasulan Nabi Muhammad SAW, dan menyerukan salat. Mayoritas Muslim sepakat pada formula inti yang mencakup "Allahu Akbar," "Asyhadu an la ilaha illallah," dan "Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah."
Namun, perbedaan utama seringkali terletak pada penambahan atau urutan tertentu, terutama setelah ajakan salat. Dalam konteks tradisi Syiah Dua Belas Imam (Imamiyah), terdapat satu penambahan signifikan yang secara eksplisit menyebutkan kepemimpinan Ali bin Abi Thalib.
Ciri khas yang membedakan adzan Syiah dari Sunni, terutama di wilayah mayoritas Syiah, adalah penyertaan frasa tambahan yang dikenal sebagai Syahadat Ketiga (atau Syahadat Wilayah). Frasa ini biasanya diucapkan setelah syahadat kenabian, yaitu: "Asyhadu anna Aliyyan Waliyyullah" (Aku bersaksi bahwa Ali adalah Wali Allah).
Penambahan ini didasarkan pada keyakinan teologis Syiah mengenai Imamah dan Wilayah (otoritas spiritual dan politik) Ali bin Abi Thalib setelah Nabi Muhammad SAW. Bagi Syiah, pengakuan terhadap otoritas Ali adalah bagian integral dari keimanan, sehingga mereka memasukkannya ke dalam panggilan suci ini.
Selain penambahan teks, terkadang terdapat variasi dalam pengulangan frasa. Misalnya, beberapa interpretasi adzan Syiah mungkin menekankan frasa tertentu, atau memiliki variasi dalam pengucapan dan irama (nada) dibandingkan dengan gaya yang umum ditemukan di komunitas Sunni setempat.
Di samping adzan utama, komunitas Syiah juga memiliki praktik yang disebut Iqamah, yaitu panggilan kedua yang menandakan salat akan segera dimulai. Dalam Iqamah Syiah, frasa "Hayya 'ala Khairil 'Amal" (Marilah menuju sebaik-baik amal) diucapkan lebih ditekankan dan terkadang diulang dua kali, sementara dalam beberapa mazhab Sunni, frasa ini dihilangkan atau hanya diucapkan sekali dalam adzan.
Frasa "Hayya 'ala Khairil 'Amal" memiliki sejarah yang kompleks dalam Islam. Dalam pandangan Syiah, frasa ini merupakan bagian asli dari seruan salat yang ditinggalkan oleh sebagian ulama Sunni pasca masa Nabi. Bagi mereka, salat adalah amal terbaik, sehingga seruan ini harus diucapkan.
Sebaliknya, banyak ulama Sunni berpendapat bahwa frasa ini memang pernah ada tetapi kemudian dihilangkan atau digantikan seiring waktu berdasarkan kebutuhan praktis atau konsensus hukum. Perdebatan mengenai apakah frasa ini harus ada dalam adzan (bukan iqamah) menunjukkan perbedaan mendasar dalam otoritas sumber hukum yang mereka ikuti.
Di beberapa wilayah dengan populasi Syiah yang dominan, tradisi lokal mungkin juga memengaruhi bagaimana adzan disiarkan. Misalnya, cara pelantunannya (nada) bisa sangat dipengaruhi oleh tradisi lokal (seperti di Iran atau Lebanon), meskipun secara tekstual formula dasarnya tetap dipertahankan dengan penambahan syahadat Wilayah.
Penting untuk dicatat bahwa meskipun terdapat perbedaan tekstual seperti penambahan "Aliyyun Waliyyullah," tujuan inti adzan—mengumpulkan umat Islam untuk ibadah—tetap utuh. Perbedaan ini lebih mencerminkan divergensinya pandangan teologis mengenai suksesi kepemimpinan setelah Nabi Muhammad SAW, yang kemudian tercermin dalam praktik ritual minor namun signifikan seperti adzan.