Di kancah musik pop Indonesia, nama Ada Band (kini ADA Band) adalah sebuah institusi yang tak terpisahkan dari era awal milenium. Mereka berhasil menyajikan melodi balada yang mendayu-dayu, lirik puitis, dan vokal yang khas. Salah satu lagu yang paling ikonik dan terus relevan hingga kini adalah "Masih Adakah Cinta". Lagu ini bukan sekadar hit radio; ia adalah cerminan perasaan universal tentang harapan dan keraguan dalam sebuah hubungan yang sedang diuji badai.
Ketika kita menekan tombol putar dan mendengar intro piano yang melankolis diikuti oleh suara vokal yang penuh penjiwaan, ingatan kita langsung dibawa ke masa lalu—masa ketika patah hati terasa begitu nyata dan pertanyaan tunggal itu muncul di benak: "Adakah sisa rasa di antara kita?" Pertanyaan ini, yang menjadi inti dari lagu ada band masih adakah cinta, adalah jembatan emosional yang menghubungkan pendengar lama dengan generasi baru.
Lirik lagu ini adalah masterclass dalam menyampaikan kerentanan. Ia tidak menuduh, melainkan mengajukan sebuah permohonan yang tulus. Bait demi bait membangun narasi tentang seseorang yang merasa hubungan mereka mulai merenggang, jarak mulai tercipta, dan kehangatan yang dulu ada kini terasa dingin. Rasa takut akan kehilangan mendominasi, mendorong penutur lagu untuk mencari kepastian. "Masih adakah cinta?" adalah pertanyaan yang mengandung risiko besar. Jika jawabannya adalah "tidak", maka kejatuhan emosional akan segera terjadi. Namun, jika jawabannya "ya", maka ada secercah harapan untuk memperbaiki apa yang telah rusak.
Relevansi lagu ini tak lekang oleh waktu karena tema pencarian validasi dalam cinta adalah abadi. Dalam setiap era, baik itu era SMS, era media sosial, atau era serba cepat saat ini, keraguan dalam hubungan selalu menghampiri. Lagu ini menawarkan validasi bahwa perasaan cemas dan berharap itu wajar adanya. Inilah kekuatan musik balada pop yang dibawakan oleh ADA Band—mereka mampu mengemas drama interpersonal yang kompleks menjadi melodi yang mudah dicerna namun berdampak mendalam.
Pada masanya, lagu ini mendefinisikan ulang standar balada rock Indonesia. Dengan aransemen yang kaya—terutama permainan gitar solo yang melodius—lagu ini terasa lebih 'berkelas' dibandingkan banyak lagu patah hati lainnya. Vokalis yang saat itu membawakan lagu ini berhasil menyampaikan setiap nuansa kepedihan dan kerinduan. Ketika kita mendengarkan kembali rekaman asli dari era kejayaan ADA Band, kita tidak hanya mendengar musik, tetapi juga merasakan atmosfer budaya pop Indonesia saat itu.
Bagi banyak pendengar, lagu "Masih Adakah Cinta" adalah soundtrack momen-momen penting: akhir sebuah hubungan, masa-masa sekolah menengah atas, atau saat merenung di malam hari. Efek nostalgia ini sangat kuat. Meskipun band telah mengalami perubahan formasi dan gaya musik seiring berjalannya waktu, lagu-lagu klasik mereka seperti ini tetap menjadi jangkar yang mengikat basis penggemar setia mereka.
Di tengah arus digitalisasi, pertanyaan "Masih adakah cinta?" mengambil dimensi baru. Dulu, keraguan muncul karena jarak fisik atau kurangnya komunikasi tatap muka. Kini, keraguan itu bisa muncul meski pasangan hanya berjarak beberapa meter, sibuk dengan ponsel masing-masing. Apakah balasan pesan yang lambat menandakan hilangnya minat? Apakah kurangnya interaksi di media sosial berarti ada yang disembunyikan? Ironisnya, teknologi yang seharusnya mendekatkan justru seringkali memperkeruh pertanyaan mendasar ini.
Oleh karena itu, lagu ada band masih adakah cinta tetap relevan. Ia mengingatkan kita bahwa di balik semua notifikasi dan koneksi virtual, inti dari hubungan tetaplah komunikasi jujur dan keberanian untuk bertanya: Apakah hati kita masih seirama? Lagu ini mengajak kita berhenti sejenak dari hiruk pikuk digital, menarik napas, dan menatap mata orang yang kita cintai untuk mencari jawaban yang sesungguhnya, bukan jawaban yang diketik cepat di layar ponsel. Keindahan balada klasik ini terletak pada kemampuannya memaksa introspeksi emosional, sebuah kebutuhan yang tampaknya tidak pernah lekang oleh waktu, terlepas dari pergantian dekade.