Surah Ad-Duha, yang turun sebagai penghibur bagi Nabi Muhammad SAW ketika beliau mengalami masa jeda wahyu, mengandung pesan-pesan penghiburan, janji masa depan yang cerah, dan tuntunan etika keimanan. Di antara ayat-ayat penuh makna tersebut, terdapat satu ayat yang sangat fundamental dalam membentuk karakter seorang Muslim, yaitu **Ad-Duha ayat 10**.
Ayat ini merupakan puncak dari rangkaian perintah ilahi yang menekankan pentingnya berbuat baik setelah menerima karunia. Sebelum ayat ini, Allah SWT telah mengingatkan Nabi akan nikmat yang telah diberikan-Nya, seperti kasih sayang dan pemeliharaan-Nya. Kemudian, sebagai respons atas anugerah tersebut, muncullah perintah yang tegas namun penuh kasih sayang ini.
Meskipun secara tekstual ayat ini memerintahkan untuk tidak menindas anak yatim, konteks ayat-ayat sebelumnya dan ayat setelahnya (yang berbicara tentang peminta-minta) memberikan pemahaman yang lebih luas. Ayat 10 ini seringkali dibaca bersamaan dengan ayat 9 (yang memerintahkan untuk memuliakan anak yatim) dan ayat 11 (yang memerintahkan untuk menceritakan nikmat Tuhan).
Perintah "janganlah engkau berlaku sewenang-wenang" (atau "janganlah engkau merendahkan/menindas") terhadap anak yatim adalah sebuah tuntutan moral yang sangat tinggi. Allah memerintahkan Nabi Muhammad SAW, yang sendiri pernah menjadi yatim piatu, untuk menunjukkan empati tertinggi. Ini bukan sekadar larangan melakukan kekerasan fisik, tetapi juga larangan psikologis dan emosional.
Menjadi sewenang-wenang bisa berarti mengambil hak-hak anak yatim yang telah ditinggalkan orang tua mereka. Dalam konteks sosial dahulu, anak yatim seringkali rentan dieksploitasi hartanya oleh wali atau kerabat yang tidak bertanggung jawab. Ayat ini menegaskan bahwa status kerentanan mereka harus dihormati, bukan dimanfaatkan.
Salah satu bentuk perlakuan sewenang-wenang yang paling menyakitkan adalah merendahkan martabat mereka. Dengan mengingatkan Nabi akan masa kecilnya sebagai yatim, Allah mengajarkan bahwa pengalaman pahit tersebut harus menjadi pelajaran untuk tidak pernah menyebabkan kepahitan yang sama pada orang lain. Sikap sombong, meremehkan, atau mengintimidasi anak yatim adalah bentuk penindasan yang dilarang keras.
Mengapa larangan ini diletakkan setelah janji kemuliaan dari Allah? Karena syukur sejati tidak hanya diungkapkan melalui ritual ibadah semata. Syukur yang diterima di sisi Allah adalah syukur yang termanifestasi dalam tindakan nyata terhadap sesama, terutama mereka yang paling lemah dan membutuhkan perlindungan.
Apabila seseorang telah menerima limpahan rahmat dan karunia (seperti yang dijanjikan Allah kepada Nabi dalam ayat-ayat sebelumnya), maka tanda terima kasihnya adalah dengan mengalihkan fokus dari diri sendiri menuju mereka yang kurang beruntung. Jika seseorang melupakan keadaannya yang pernah lemah, ia berisiko menjadi sombong dan lalim ketika berada di puncak kekuasaan atau kelimpahan.
Ad-Duha ayat 10 berfungsi sebagai pengingat bahwa kemuliaan sejati seorang hamba Allah terletak pada cara ia memperlakukan yang paling rentan. Keutamaan tidak diukur dari seberapa banyak nikmat yang diterima, tetapi seberapa baik nikmat tersebut digunakan untuk menegakkan keadilan dan belas kasih di bumi.
Dengan memahami perintah ini, seorang Muslim diajak untuk terus bersyukur atas segala nikmat—baik rezeki materi, kesehatan, maupun kedudukan—dan menggunakannya sebagai sarana untuk mengangkat derajat mereka yang tertindas, bukan sebagai alat untuk menindas orang lain. Inilah makna hakiki dari syukur yang paripurna sebagaimana diajarkan dalam Surah Ad-Duha.