Kisah Musa dan Khidir dalam Surat Al-Kahfi Ayat 65

Fokus pada Surat Al-Kahfi Ayat 65

فَوَجَدَا عَبْدًا مِنْ عِبَادِنَا آتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِنْ لَدُنَّا عِلْمًا

"Lalu mereka berdua bertemu dengan seorang hamba (Khidir) di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami." (QS. Al-Kahfi: 65)

Ayat ke-65 dari Surat Al-Kahfi merupakan salah satu tonggak penting dalam narasi epik pertemuan antara Nabi Musa 'alaihissalam dan seorang hamba saleh yang penuh misteri, yang kemudian dikenal sebagai Khidir. Ayat ini berfungsi sebagai pintu gerbang yang mengantar Musa dan muridnya, Yusa' bin Nun, menuju pelajaran kebijaksanaan dan ilmu laduni (ilmu yang langsung diajarkan oleh Allah) yang tidak dimiliki oleh Nabi Musa pada saat itu.

Makna Rahmat dan Ilmu Laduni

Frasa kunci dalam ayat ini adalah "rahmat dari sisi Kami" (rahmatan min 'indina) dan "ilmu dari sisi Kami" (ilman ladunna). Rahmat di sini bukan sekadar nikmat duniawi, melainkan anugerah khusus berupa pemahaman mendalam tentang takdir dan hikmah di balik peristiwa yang tampak buruk bagi pandangan manusia biasa. Ilmu yang diajarkan kepada Khidir adalah ilmu yang superior, sebuah pengetahuan esoteris mengenai hakikat realitas yang seringkali bertentangan dengan logika permukaan.

Nabi Musa, meskipun seorang rasul yang agung, menyadari keterbatasannya dalam ilmu pengetahuan ilahi tertentu. Pencariannya adalah representasi universal dari kebutuhan manusia akan bimbingan melebihi batas pemahaman rasional semata. Perjalanan Musa menuju pertemuan dengan Khidir adalah sebuah ziarah spiritual yang menuntut kerendahan hati ekstrem. Ia harus meninggalkan status kenabiannya sejenak untuk menjadi seorang murid yang tunduk pada guru yang ditunjuk Allah, meskipun ia sendiri adalah seorang nabi.

Ilustrasi simbolis pertemuan di tepi laut antara dua sosok dalam suasana pencarian ilmu. Musa Khidir Rahmat & Ilmu

Ilustrasi pertemuan Musa dan Khidir, mencari ilmu yang dianugerahkan Allah.

Pelajaran Penting dari Konteks Ayat

Ayat 65 menggarisbawahi bahwa ilmu yang sesungguhnya datang dari Allah, bukan sekadar hasil pencarian atau kapasitas intelektual manusia. Ketika Musa memohon kepada Khidir untuk mengajarinya, Khidir mengingatkannya tentang perbedaan mendasar dalam pendekatan mereka terhadap ilmu pengetahuan. Musa terikat oleh syariat yang tampak (zahir), sementara Khidir dibimbing oleh hakikat (bathin) yang tersembunyi.

Kisah ini mengajarkan pentingnya pengakuan atas keterbatasan diri. Bagi seorang pencari kebenaran, kerendahan hati untuk mengakui bahwa ada lapisan realitas dan kebijaksanaan yang melampaui pemahaman kita saat ini adalah langkah pertama menuju pencerahan. Pertemuan ini adalah bukti bahwa terkadang, Allah menunjuk seorang guru—bahkan jika guru tersebut tidak memiliki status kenabian formal—untuk mengajarkan pelajaran spesifik yang diperlukan oleh seorang nabi atau seorang mukmin.

Surat Al-Kahfi secara keseluruhan membahas empat kisah besar yang relevan untuk menguji iman di akhir zaman: Ashabul Kahfi (ujian kesetiaan), pemilik dua kebun (ujian harta), Musa dan Khidir (ujian ilmu), dan Dzulkarnain (ujian kekuasaan). Ayat 65, yang memperkenalkan Khidir, secara spesifik mempersiapkan pembaca untuk menerima bahwa kebijaksanaan ilahi seringkali datang dalam paket yang tidak terduga dan memerlukan penerimaan tanpa prasangka awal. Hikmah di balik perbuatan Khidir yang 'merusak'—melubangi perahu, membunuh anak, dan memperbaiki dinding—hanya bisa dipahami melalui lensa ilmu laduni yang dianugerahkan Allah, sebagaimana ditegaskan dalam ayat ini.

Oleh karena itu, Surat Al-Kahfi ayat 65 bukan hanya narasi sejarah, tetapi sebuah manual spiritual tentang bagaimana seharusnya seorang pencari ilmu mendekati misteri ilahi: dengan penuh hormat, kerendahan hati, dan kesediaan untuk belajar dari sumber ilmu yang paling murni, yaitu yang bersumber langsung dari sisi Allah.

🏠 Homepage