Memahami makna mendalam dari Surat Al-Lail (Malam).
Surat Al-Lail, yang merupakan surat ke-92 dalam urutan Mushaf Al-Qur'an, memiliki arti "Malam". Surat yang tergolong pendek ini dibuka dengan sumpah Allah SWT yang mengagumkan, sebuah penegasan atas kebesaran-Nya melalui fenomena alam yang paling nyata: pergantian siang dan malam. Pembukaan ini langsung menarik perhatian pembaca, mengajak jiwa untuk merenungkan kuasa Sang Pencipta yang mengatur siklus kosmik tanpa cela.
Ayat pertama, "Demi malam apabila menutupi (siang)," menekankan bahwa setiap hal memiliki waktu dan fungsi yang telah ditentukan. Sumpah ini bukan sekadar hiasan retoris, melainkan fondasi argumen yang akan disampaikan oleh Allah SWT mengenai perbedaan fundamental dalam amal perbuatan manusia. Allah melanjutkan dengan bersumpah atas siang yang terang benderang, menegaskan bahwa perbedaan antara kedua waktu ini adalah tanda kebesaran-Nya.
Setelah sumpah tersebut, fokus surat beralih dari alam semesta kepada diri manusia. Inti dari Surat Al-Lail terletak pada perbandingan antara dua tipe manusia yang memiliki pendekatan hidup yang sangat bertolak belakang dalam membelanjakan hartanya di jalan Allah. Tipe pertama adalah mereka yang berinfak dan bertakwa, sedangkan tipe kedua adalah mereka yang kikir dan merasa dirinya cukup tanpa memerlukan pertolongan Ilahi.
Allah SWT menggambarkan manusia yang berinfak bukan karena ingin dipuji, melainkan semata-mata untuk mencari keridhaan Allah. Mereka menginfakkan hartanya untuk membersihkan diri dan jiwa mereka dari sifat tamak dan egoisme. Bagi mereka, memberi adalah ibadah yang menumbuhkan ketenangan batin. Tipe inilah yang dijanjikan kebahagiaan sejati. Sebaliknya, ada golongan yang dicela karena kekikirannya. Mereka membelanjakan hartanya hanya untuk menunjukkan kemewahan diri, tanpa mempedulikan kebutuhan orang lain, dan yang terparah, mereka melakukannya hanya untuk mencari pujian manusia.
Perbedaan antara kedua jalan ini sangatlah jelas. Jalan kikir adalah jalan yang menuju pada kegelapan batin, meskipun orang tersebut mungkin tampak kaya raya di dunia. Hati mereka tertutup dari kebenaran. Mereka lupa bahwa kekayaan yang mereka miliki sejatinya adalah titipan, dan suatu saat mereka akan dimintai pertanggungjawaban.
Surat Al-Lail kemudian memberikan gambaran tentang konsekuensi dari pilihan hidup tersebut di akhirat. Bagi mereka yang ikhlas berinfak dan bertakwa (seperti yang dijelaskan pada ayat 17-18), Allah menjanjikan kemudahan dan surga yang penuh kenikmatan. Mereka tidak akan pernah mengalami kesulitan di akhirat karena mereka telah memudahkan jalan mereka di dunia. Mereka telah berjuang melawan hawa nafsu kekikiran demi ketaatan.
Sebaliknya, bagi mereka yang menolak untuk berinfak dan bersikap sombong, Allah SWT menjanjikan kesulitan. Bukan hanya kesulitan di dunia, namun kesulitan yang jauh lebih besar di akhirat, yaitu terjerumus ke dalam api neraka yang menyala-nyala. Dalam konteks ini, yang paling merugi adalah orang yang menahan hartanya padahal ia mampu memberikannya untuk mencari ridha Allah.
Pesan utama dari Surat Al-Lail sangat fundamental bagi seorang Muslim: keberuntungan akhirat tidak ditentukan oleh seberapa banyak harta yang kita kumpulkan, melainkan oleh bagaimana kita mengelola harta tersebut. Surat ini mengajarkan bahwa kekayaan materi hanyalah alat, dan nilai sesungguhnya terletak pada niat di balik penggunaannya. Jika niatnya adalah mencari keridhaan Allah melalui ketakwaan dan kedermawanan, maka orang tersebut telah membeli tiket menuju kebahagiaan abadi.
Merayakan pergantian malam dan siang adalah cara kita mengakui kekuasaan Allah, dan merenungkan ajaran surat ini adalah cara kita menerapkan pengakuan tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Ini adalah panggilan untuk membersihkan jiwa dari sifat kikir dan kesombongan, dan menggantinya dengan kemurahan hati yang didasari oleh keikhlasan murni. Dengan demikian, kita berharap termasuk dalam golongan yang dijanjikan kemudahan saat menghadapi hari perhitungan.