Ketika kita membahas **Ad-Dhuha surat ke**, kita secara otomatis merujuk pada Surat Ad-Dhuha, yang merupakan surat ke-93 dalam susunan mushaf Al-Qur'an. Surat ini tergolong dalam golongan Makkiyah, yang berarti diturunkan di Mekkah sebelum Rasulullah SAW hijrah ke Madinah. Surat ini memiliki lima ayat pendek namun sarat makna, dan turun pada saat Nabi Muhammad SAW sedang mengalami periode kesedihan dan jeda wahyu yang cukup panjang.
Periode jeda turunnya wahyu ini sempat membuat Rasulullah SAW merasa khawatir, dikhawatirkan bahwa Allah SWT telah meninggalkan beliau. Dalam konteks inilah, Surat Ad-Dhuha menjadi penyejuk hati, sebuah janji perlindungan, dan penegasan kasih sayang Allah SWT kepada hamba-Nya yang paling utama. Nama 'Ad-Dhuha' sendiri diambil dari sumpah Allah pada ayat pertamanya, yaitu demi waktu dhuha (pagi hari setelah matahari meninggi).
Ilustrasi harapan yang terbit seiring waktu Dhuha.
Surat ini berfungsi sebagai pengingat ilahiah tentang nikmat-nikmat yang telah Allah berikan, meskipun terkadang manusia cenderung lupa atau berada dalam keputusasaan. Ayat pertama hingga ketiga adalah sumpah yang menguatkan: "Demi waktu dhuha, dan demi malam apabila telah sunyi, Tuhanmu tidak meninggalkanmu (Muhammad) dan tidak (pula) membencimu." Penegasan ini adalah dosis penyembuhan spiritual terbesar bagi Nabi, dan secara universal, bagi setiap mukmin yang merasa ditinggalkan.
Setelah menenangkan kegelisahan, Allah SWT melanjutkan dengan janji kenikmatan di masa depan, menunjukkan bahwa masa lalu yang penuh kesulitan hanyalah permulaan dari kemuliaan yang akan datang. Ayat selanjutnya menekankan bahwa kehidupan akhir (akhirat) jauh lebih baik daripada kehidupan duniawi yang sementara. Ini adalah motivasi luar biasa agar seorang mukmin tidak terlalu terikat pada kesenangan fana dan selalu mengarahkan pandangan pada kebahagiaan hakiki.
Selain menjadi bacaan penghibur hati Nabi, Surat Ad-Dhuha memiliki keutamaan bagi umatnya. Salah satu yang paling terkenal adalah anjuran untuk melaksanakan Shalat Dhuha. Meskipun shalat ini tidak secara eksplisit disebut "Shalat Dhuha" dalam surat ini, namun korelasi antara waktu sumpah (Dhuha) dan keutamaan waktu tersebut sangat kuat dalam tradisi hadis. Shalat Dhuha dilakukan setelah matahari terbit meninggi hingga menjelang Zuhur.
Melaksanakan Shalat Dhuha adalah bentuk rasa syukur atas rezeki yang diberikan Allah SWT di pagi hari dan sekaligus usaha untuk mendapatkan ridha-Nya. Hadis menyebutkan bahwa orang yang istiqamah melaksanakan shalat Dhuha akan diampuni dosa-dosanya, meskipun dosanya sebanyak buih di lautan. Ini menunjukkan bahwa surat ke-93 ini bukan sekadar teks sejarah, tetapi panduan praktis untuk meraih berkah harian.
Lebih lanjut, pesan utama dari surat ini adalah pentingnya berbuat baik kepada sesama, terutama kepada mereka yang kurang beruntung. Ayat ke-9, "Maka terhadap anak yatim janganlah engkau berlaku sewenang-wenang," menjadi pengingat kuat tentang tanggung jawab sosial. Nabi Muhammad SAW, yang pernah menjadi anak yatim, diperintahkan untuk menunjukkan empati tertinggi kepada nasib yang serupa.
Posisi Ad-Dhuha sebagai surat ke-93 menandai sebuah titik balik penting dalam narasi kenabian. Jika surat sebelumnya (seperti Al-Layl) membahas kontras antara orang yang bersyukur dan yang kikir, maka Ad-Dhuha datang sebagai pelukan hangat setelah badai kegelisahan. Ia mengajarkan bahwa kesulitan dan jeda adalah bagian dari rencana besar Allah. Terdapat hikmah dalam setiap jeda, dan kesabaran dalam penantian akan dibayar dengan kemurahan yang melimpah.
Memahami **Ad-Dhuha surat ke** adalah memahami bahwa Allah SWT tidak pernah benar-benar meninggalkan hamba-Nya, baik dalam suka maupun duka. Kesejahteraan duniawi dan janji akhirat adalah dua hadiah besar yang disiratkan dalam surat yang singkat namun padat ini. Dengan merenungkan dan mengamalkan isinya, seorang mukmin diajak untuk senantiasa optimis, bersyukur, dan berbakti hingga akhir hayat.