Memahami Ad Dhuha Ayat 93

Ilustrasi Kejelasan dan Petunjuk

Mukadimah Surah Ad-Dhuha

Surah Ad-Dhuha, yang terletak di Juz ke-30 Al-Qur'an, adalah salah satu surah Makkiyah yang diturunkan sebagai penghibur hati Nabi Muhammad SAW di masa-masa sulit. Penamaan surah ini diambil dari ayat pertamanya, "Demi waktu dhuha (ketika matahari meninggi)," yang menjadi sumpah Allah SWT untuk menunjukkan keagungan waktu dan janji-janji-Nya. Surah ini terdiri dari 11 ayat yang secara keseluruhan memberikan semangat, kepastian akan kasih sayang Allah, dan arahan bagi Rasulullah untuk bersyukur serta peduli terhadap sesama.

Namun, pembahasan kali ini akan fokus pada pemahaman mendalam mengenai konteks dan implikasi dari salah satu ayat penutupnya. Meskipun surah ini dikenal singkat dan penuh kedamaian, setiap ayatnya mengandung hikmah yang luas, termasuk ayat yang seringkali menjadi titik fokus dalam kajian mendalam tentang etika sosial dan kepedulian.

Menelusuri Konteks Ad Dhuha Ayat 93 (Konteks Umum dan Kesalahan Penomoran)

Penting untuk dicatat bahwa Surah Ad-Dhuha hanya memiliki **11 ayat**. Oleh karena itu, merujuk pada "Ad Dhuha ayat 93" adalah sebuah kekeliruan penomoran, karena ayat terpanjang dalam surah ini hanyalah ayat ke-11. Kemungkinan besar, referensi ini mengacu pada ayat-ayat akhir surah yang berkaitan dengan perintah bersyukur dan berbuat baik, atau mungkin merujuk pada ayat dalam surah lain yang memiliki nomor 93 (seperti An-Nahl).

Untuk memberikan manfaat maksimal berdasarkan keyword yang diberikan, kita akan mengasumsikan bahwa maksudnya adalah untuk membahas **Ayat-ayat penutup Surah Ad-Dhuha (Ayat 9 hingga 11)**, yang membahas inti pesan moral surah tersebut, yaitu tentang perlakuan terhadap anak yatim dan pengemis, yang merupakan perintah utama setelah pengingat akan nikmat Allah.

"Maka terhadap anak yatim janganlah engkau berlaku sewenang-wenang. Dan terhadap orang yang meminta-minta (miskin), janganlah engkau menghardik." (QS. Ad-Dhuha: 9-10)

Etika Sosial dalam Ayat Penutup Ad-Dhuha

Ayat 9 dan 10 Surah Ad-Dhuha adalah inti dari penerapan rasa syukur dalam ranah sosial. Setelah Allah mengingatkan Nabi Muhammad SAW tentang bagaimana Dia memuliakan dan memelihara beliau saat yatim, perintah selanjutnya adalah implementasi nyata dari rasa syukur tersebut melalui perlakuan terhadap kelompok rentan.

Larangan Berlaku Sewenang-wenang Terhadap Yatim (Ayat 9): Allah secara eksplisit melarang segala bentuk penindasan, pengabaian hak, atau perlakuan kasar terhadap anak yatim. Dalam konteks historis, ketika Nabi SAW menjadi yatim, hal ini adalah pengingat bahwa orang yang pernah merasakan kehilangan harus menjadi yang terdepan dalam menjaga kehormatan dan hak-hak anak yatim lainnya. Sikap sewenang-wenang bisa berupa mengambil harta warisan mereka atau meremehkan keberadaan mereka.

Larangan Menghardik Pengemis (Ayat 10): Ayat ini juga memberikan pelajaran tentang adab dalam interaksi dengan kaum fakir miskin yang meminta pertolongan. Kata "menghardik" (qahar) memiliki makna yang kuat, yaitu menolak dengan kasar, merendahkan, atau bahkan mengusir. Meskipun seseorang tidak mampu memberi, adab dalam menolak tetap harus dijaga, karena kehormatan manusia harus dihormati di hadapan Allah. Allah mengajarkan bahwa kemudahan rezeki yang diberikan kepada Nabi SAW (dan secara umum kepada umatnya) harus dibalas dengan kemudahan dan kelembutan kepada mereka yang membutuhkan.

Puncak Syukur: Mengabarkan Nikmat Allah

Ayat terakhir dari Surah Ad-Dhuha (Ayat 11) menyimpulkan seluruh pesan dalam surah ini: "Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu menceritakan (atau mensyukurinya)." Ayat ini menutup rangkaian pengingat akan pemeliharaan Allah dengan perintah untuk menyebarkan kabar baik tersebut.

Menceritakan nikmat di sini bukan sekadar pamer, melainkan bentuk syukur yang paling nyata. Ketika seseorang telah merasakan dan mengakui rahmat Allah, manifestasi terbaiknya adalah dengan menjadi saluran rahmat tersebut bagi orang lain, terutama bagi mereka yang dulu pernah berada dalam kondisi yang sama dengan Rasulullah SAW, yaitu anak yatim dan kaum yang lemah.

Singkatnya, meskipun referensi "Ad Dhuha ayat 93" tidak akurat secara harfiah karena keterbatasan jumlah ayat, semangat ayat-ayat penutup surah ini (Ayat 9-11) memberikan landasan kuat bagi seorang Muslim untuk menjalankan manifestasi spiritualitasnya dalam bentuk keadilan sosial dan kelembutan hati terhadap sesama yang kurang beruntung.

🏠 Homepage