Surah Al-Ikhlas, yang berarti "Memurnikan Kepercayaan," adalah salah satu surah terpendek dalam Al-Qur'an namun memiliki kedalaman tauhid (keesaan Allah) yang luar biasa. Surah ini merupakan penegasan fundamental tentang hakikat Allah SWT, seringkali dianggap setara dengan sepertiga isi Al-Qur'an karena kemurnian konsep ketuhanan yang disampaikannya.
Setiap ayat dalam surah ini memiliki peran penting dalam mendefinisikan siapa Allah yang sebenarnya, menolak segala bentuk kesyirikan atau penyamaan dengan makhluk-Nya. Untuk memahami esensi surah ini, penting bagi kita untuk mengetahui lafazh (tulisan) dari setiap ayatnya.
Fokus pembahasan kali ini adalah pada ayat kedua. Setelah ayat pertama menegaskan keesaan Allah ("Katakanlah: Dialah Allah, Yang Maha Esa"), ayat kedua melangkah lebih jauh untuk menegaskan bahwa Allah adalah Tuhan yang mutlak dan tidak bergantung kepada siapapun.
ٱللَّهُ ٱلصَّمَدُ
Artinya: "Allah adalah Ash-Shamad (Tempat bergantung segala sesuatu)."
Kata kunci di sini adalah "Ash-Shamad". Dalam tafsir klasik, Ash-Shamad memiliki beberapa makna yang saling melengkapi, namun semuanya menunjuk pada kesempurnaan dan kemandirian Ilahi. Secara ringkas, Ash-Shamad berarti: Zat yang kekal, yang tidak berawal dan tidak berakhir, tempat semua makhluk bergantung dan meminta pertolongan, dan Dialah yang segala sesuatu menuju kepada-Nya untuk memenuhi kebutuhannya.
Ayat ini secara tegas menolak gagasan bahwa ada entitas lain yang memiliki sifat kemandirian seperti Allah. Semua makhluk, baik yang hidup maupun yang mati, semuanya membutuhkan sesuatu—mereka lapar, haus, butuh dukungan, dan pada akhirnya, mereka akan sirna. Hanya Allah yang teguh, tidak membutuhkan apapun, dan justru Dia-lah yang menjadi sumber kebutuhan bagi seluruh alam semesta. Mengimani ayat ini adalah inti dari keikhlasan beribadah.
Visualisasi konsep ketergantungan seluruh alam kepada Ash-Shamad.
Surah Al-Ikhlas seringkali diturunkan sebagai jawaban atas pertanyaan kaum musyrik Mekah yang menanyakan tentang nasab dan sifat Tuhan yang disembah oleh Nabi Muhammad SAW. Ayat kedua ini, "Allah Ash-Shamad," adalah jawaban yang paling ringkas dan padat. Bayangkan jika manusia harus menjelaskan tentang Zat Yang Maha Kuasa, deskripsi bisa menjadi rumit dan membuka celah kesalahpahaman. Namun, dengan Ash-Shamad, seluruh kompleksitas kebutuhan alam diselesaikan dengan satu penegasan: Dialah sandaran tunggal.
Dengan demikian, pengulangan ayat kedua ini dalam shalat, dzikir, atau tadabbur harian, berfungsi untuk membersihkan hati dari ketergantungan kepada selain Allah. Ini mengajarkan bahwa segala bentuk harapan material, kekuasaan, atau keamanan harus diarahkan kepada sumbernya yang sejati, yaitu Allah Yang Maha Mandiri.
Ayat kedua ini menegaskan bahwa Allah tidak memiliki kelemahan yang memerlukan perbaikan, tidak memiliki kekurangan yang perlu diisi, dan tidak membutuhkan siapapun untuk eksistensi-Nya. Kontrasnya, kita sebagai makhluk sangat bergantung pada-Nya untuk setiap tarikan napas dan denyut jantung. Inilah mengapa para ulama menekankan bahwa pemahaman mendalam terhadap ayat ini menguatkan pondasi iman seorang Muslim.