Surat Al-Lail (Malam), yang merupakan surat ke-92 dalam urutan mushaf Al-Qur'an, adalah salah satu surat pendek yang sarat makna filosofis dan spiritual. Nama surat ini diambil dari kata pertama ayat pertamanya, "Wallaɪl" (Demi malam), yang menjadi sumpah agung Allah SWT untuk menegaskan kebenaran janji-Nya. Surat ini secara garis besar membahas tentang perbedaan jalan hidup manusia, yaitu jalan menuju kebahagiaan sejati dan jalan menuju kesengsaraan, yang semuanya kembali kepada pilihan dan perbuatan masing-masing individu di dunia.
Pembukaan surat ini dimulai dengan sumpah yang sangat kuat: "Demi malam apabila menutupi (gelap gulita), dan siang apabila terang benderang." Sumpah ini bukan sekadar retorika, melainkan penekanan atas keteraturan kosmos yang diciptakan Tuhan. Malam dan siang silih berganti sebagai bukti kekuasaan-Nya dan sebagai metafora bagi keadaan hidup manusia—ada masa kegelapan dan ada masa pencerahan. Perguliran waktu ini mengingatkan manusia bahwa segala sesuatu bersifat sementara, dan pertanggungjawaban akan segera tiba.
Ayat selanjutnya menjelaskan fokus utama surat ini: perbedaan nasib antara orang yang bersyukur dan orang yang kufur. Allah SWT menegaskan bahwa barangsiapa memberikan hartanya di jalan Allah dan bertakwa, serta membenarkan adanya pahala terbaik (surga), maka kemudahan akan dilapangkan baginya.
"Dan adapun orang yang kikir dan merasa dirinya cukup (tidak butuh pertolongan Allah), serta mendustakan (pahala) yang terbaik (Al-Husna), maka kelak akan Kami mudahkan baginya jalan menuju kesusahan." (QS. Al-Lail: 8-10)
Surat Al-Lail sangat menekankan bahwa kekayaan materi (harta) bukanlah tujuan akhir, melainkan alat untuk mencapai keridhaan Ilahi. Orang yang merasa 'cukup' dengan hartanya, yang kemudian menyebabkan kekikiran dan penolakan terhadap kebenaran, sejatinya sedang membangun jalan menuju kesulitan abadi. Ini adalah peringatan keras bagi mereka yang terbuai oleh gemerlap dunia.
Sebaliknya, terdapat deskripsi indah mengenai mereka yang menginfakkan hartanya untuk mencari keridhaan Allah semata. Bagi orang seperti ini, Allah menjamin perlindungan dari kerugian. Harta yang mereka sedekahkan bukan hilang, melainkan disimpan sebagai aset paling berharga di sisi-Nya.
Salah satu bagian paling mendalam dari teks surat Al-Lail adalah mengenai fungsi harta dan tanggung jawab moral. Harta itu sejatinya hanya berguna jika digunakan untuk membersihkan diri (tazkiyah) dan menolong sesama, bukan untuk pamer atau kesombongan.
Bahkan, dalam konteks yang lebih luas, surat ini menyinggung peran penting penyampaian peringatan. Ayat 11 sampai 16 berbicara tentang kewajiban memberi peringatan. Tujuannya bukan untuk memaksa orang beriman, tetapi untuk mengingatkan mereka yang takut kepada azab Allah. Peringatan ini sangat penting, terutama bagi mereka yang rentan tergelincir karena godaan duniawi. Ayat-ayat ini seringkali dikaitkan dengan konteks historis Nabi Muhammad SAW yang berusaha membimbing kaumnya dari kegelapan jahiliyah menuju cahaya tauhid.
Teks surat Al-Lail ditutup dengan jaminan kebahagiaan bagi orang yang ikhlas. Mereka yang menginfakkan hartanya semata-mata untuk mencari keridhaan Allah tidak akan merugi. Mereka dijanjikan kedudukan yang tinggi dan keridhaan yang sempurna. Ini adalah kesimpulan logis dari perbandingan kontras yang telah dibangun sejak awal: jalan kemudahan (Al-Yusra) dan jalan kesusahan (Al-'Usra).
Ketika seseorang memilih untuk berkorban di dunia ini—mengalahkan sifat kikir dan kesombongan—maka ia sedang berinvestasi pada keabadian. Pemahaman mendalam terhadap makna Surat Al-Lail mendorong seorang muslim untuk senantiasa mengukur tindakannya berdasarkan pertimbangan akhirat, menjadikan setiap malam dan siang sebagai kesempatan untuk mendekatkan diri kepada Pencipta. Surat ini mengajarkan bahwa kekayaan sejati bukanlah akumulasi materi, melainkan ketakwaan yang diwujudkan melalui kedermawanan.
Oleh karena itu, mempelajari teks surat Al-Lail memberikan perspektif yang jelas: kehidupan adalah medan ujian di mana pilihan kita (berinfak atau kikir, bersyukur atau kufur) akan menentukan arah kemudahan atau kesusahan yang kita hadapi di masa depan yang kekal.