Ilustrasi sederhana arsitektur suci Bali
Bali, pulau dewata, tidak hanya memukau dengan keindahan alamnya, tetapi juga kaya akan warisan budaya dan arsitektur yang memancarkan filosofi mendalam. Salah satu konsep yang sangat menarik dalam tata ruang dan arsitektur tradisional Bali adalah Tampak Siring. Istilah ini mengacu pada orientasi bangunan, terutama tempat suci seperti pura, yang diselaraskan dengan arah mata angin tertentu, mengikuti prinsip-prinsip kosmologi Hindu Dharma yang dianut masyarakat setempat.
Secara harfiah, "tampak" berarti pandangan atau tampak depan, sedangkan "siring" bisa diartikan miring atau menyamping. Namun, dalam konteks arsitektur Bali, Tampak Siring merujuk pada cara bangunan atau kompleks pura diletakkan sedemikian rupa sehingga memiliki jalur pandang atau akses utama yang tidak lurus sempurna menghadap utara atau selatan, melainkan sedikit menyudut. Orientasi ini bukanlah dilakukan tanpa alasan, melainkan didasarkan pada perhitungan spiritual dan penataan energi alam semesta yang disebut Asta Kosala Kosali.
Filosofi di Balik Orientasi
Dalam kosmologi Hindu Bali, arah mata angin memiliki makna spiritual yang sangat penting. Utara dianggap sebagai arah suci, tempat bersemayamnya para dewa, sementara selatan sering kali dikaitkan dengan kekuatan negatif atau dunia bawah. Oleh karena itu, penempatan pura atau rumah tinggal harus memperhatikan keseimbangan energi ini.
Tampak Siring hadir sebagai solusi arsitektural yang cerdas. Jika sebuah bangunan harus menghadap ke arah tertentu (misalnya, menghadap gunung suci seperti Gunung Agung yang berada di timur laut), namun orientasi langsung dapat menimbulkan risiko energi negatif atau tidak sesuai dengan tata ruang lahan, maka arsitek tradisional akan memiringkan sedikit bukaan atau pintu utama. Kemiringan ini dipercaya dapat menyaring energi positif sekaligus menangkal energi negatif yang datang dari arah yang kurang baik.
Penerapan dalam Struktur Pura
Konsep Tampak Siring paling jelas terlihat pada tata letak Pura Kahyangan Jagat. Banyak pura besar di Bali yang pintu masuk utamanya tidak menghadap lurus sempurna ke arah mata angin utama. Hal ini sering kali berhubungan dengan kontur tanah, keberadaan sungai suci, atau mengikuti garis energi spiritual yang sudah ditetapkan sejak awal pendirian pura.
Selain orientasi bangunan utama, Tampak Siring juga memengaruhi penataan halaman (mandala) di dalam kompleks pura. Pembagian area suci (utama, tengah, dan luar) harus terintegrasi secara harmonis dengan lingkungan sekitar, memastikan bahwa prosesi keagamaan dan ritual dapat berjalan lancar tanpa terhalang oleh hambatan fisik atau spiritual.
Tampak Siring dalam Arsitektur Hunian
Meskipun paling dikenal dalam konteks pura, filosofi ini juga meresap ke dalam desain rumah tinggal tradisional Bali (Griya atau Bale). Filosofi ini mendorong pemilik rumah untuk menempatkan pintu utama dan area-area vital (seperti dapur atau kamar tidur utama) dengan pertimbangan energi. Rumah yang dibangun dengan prinsip Tampak Siring diharapkan membawa keselarasan, kemakmuran, dan kesehatan bagi penghuninya.
Desain yang miring atau menyamping ini bukan sekadar estetika, melainkan representasi nyata dari bagaimana masyarakat Bali berusaha hidup selaras dengan alam semesta, menghormati kekuatan kosmik, dan menjaga keseimbangan antara dunia manusia dan dunia dewa. Memahami Tampak Siring berarti memahami jantung dari kearifan lokal Bali dalam membangun hunian dan tempat ibadah mereka. Ini adalah warisan tak ternilai yang terus dijaga keberadaannya hingga kini.