Surah Al-Lail (Malam), surah ke-92 dalam urutan Mushaf, merupakan salah satu surah pendek dalam Al-Qur'an yang sarat dengan makna mendalam mengenai sumpah Allah atas fenomena alam dan implikasinya terhadap kehidupan manusia. Tafsir surah ini mengajak kita merenungkan tentang dualisme eksistensi, usaha manusia, serta janji balasan yang adil.
Sumpah Alam sebagai Bukti Kekuasaan
Surah ini dibuka dengan sumpah Allah yang sangat kuat: "Demi malam apabila ia menyelubungi (dengan gelapnya)" (Ayat 1). Sumpah ini tidak main-main, melainkan penegasan bahwa apa yang disaksikan oleh manusia, yaitu pergantian siang dan malam, adalah tanda kekuasaan Ilahi yang pasti.
Setelah bersumpah atas malam, Allah melanjutkan dengan sumpah atas siang: "dan demi siang apabila ia terang benderang" (Ayat 2). Kontras antara malam yang menaungi dan siang yang menerangi menunjukkan bahwa setiap keadaan memiliki fungsinya sendiri dalam ekosistem ciptaan-Nya. Kedua fenomena ini adalah saksi abadi akan kebesaran Sang Pencipta.
Variasi Jalan Hidup Manusia
Setelah menetapkan sumpah atas alam, fokus beralih kepada manusia. Ayat selanjutnya menjelaskan bahwa tujuan hidup manusia berbeda-beda:
"Sesungguhnya Kami telah menjadikan manusia dalam perjuangan (pelayaran) yang sulit." (Ayat 4, tafsir makna perjuangan)
Setiap individu menempuh jalan yang berlainan. Ada yang memilih jalan kemudahan (ketaatan dan kedermawanan), sementara ada pula yang memilih jalan kesulitan (kekafiran atau ketamakan). Tafsir surah Al-Lail menekankan bahwa perbedaan jalan ini adalah konsekuensi alami dari kehendak bebas yang diberikan Allah kepada manusia.
Pentingnya Kedermawanan dan Ketakwaan
Puncak pesan moral surah ini terletak pada pembahasan mengenai dua jenis manusia yang menempuh dua jalur ekstrem. Jalur pertama adalah jalan orang yang bertakwa dan dermawan:
"Maka barangsiapa yang memberikan hartanya di jalan Allah dan bertakwa, dan membenarkan (adanya pahala) yang terbaik (surga), maka Kami akan memudahkan baginya jalan yang mudah." (Ayat 17-18)
Ayat ini menunjukkan hubungan sebab-akibat yang jelas. Kedermawanan (infaq) dan ketakwaan adalah kunci untuk Allah memudahkan urusan dunia dan akhirat seseorang. Memberi di jalan Allah bukan berarti kekurangan, melainkan investasi jangka panjang yang akan dilipatgandakan balasannya.
Bahaya Kekikiran dan Keengganan Bersyukur
Sebaliknya, Allah mengecam mereka yang kikir dan merasa dirinya cukup (ghani):
"Dan adapun orang yang kikir dan merasa dirinya cukup (kayanya), serta mendustakan (pahala) yang terbaik, maka Kami akan menyiapkan baginya jalan yang sukar." (Ayat 24-26)
Orang yang sombong dan kikir cenderung merasa bahwa hartanya adalah hasil murni usahanya sendiri, tanpa melihat bahwa rezeki tersebut adalah titipan Allah. Kesombongan ini menutup pintu hati mereka dari kebenaran dan pahala yang dijanjikan.
Kesimpulan Utama Tafsir Al-Lail
Tafsir surah Al-Lail menegaskan bahwa tujuan penciptaan manusia adalah untuk menguji siapa di antara mereka yang paling baik amalnya. Jalan menuju kebahagiaan sejati, baik di dunia maupun di akhirat, telah dijelaskan secara gamblang: melalui **ketaatan, kedermawanan, dan pembenaran tulus terhadap janji-janji Allah.**
Surah ini berfungsi sebagai pengingat bahwa harta benda yang kita miliki hanyalah sarana, bukan tujuan akhir. Kekayaan sejati terletak pada kemampuan untuk mengolah karunia tersebut sesuai dengan ridha Ilahi. Ketika malam menyelimuti, refleksi diri sangat diperlukan untuk memastikan bahwa kita telah berjalan di jalur yang benar saat siang menyinari.