Surah Al-Fatihah, atau Ummul Kitab (Induk Al-Qur'an), adalah surah pertama dalam susunan mushaf dan merupakan inti dari ajaran Islam. Imam Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya yang masyhur, "Tafsir Al-Qur'an Al-Azhim," menekankan betapa vitalnya surah ini. Ia bukan sekadar pembuka, melainkan juga pilar utama dalam salat wajib umat Islam. Ibnu Katsir menjelaskan bahwa surah ini mencakup pujian kepada Allah (tahmid), pengakuan keesaan-Nya (tauhid), penyerahan diri (ubudiyah), dan permohonan pertolongan (isti'anah). Keutamaan ini membuatnya disebut sebagai "As-Sab’ul Matsani" (Tujuh Ayat yang Diulang-ulang), yang mana Allah SWT menjadikannya bagian yang dibaca setiap rakaat salat.
Menurut riwayat yang dikutip Ibnu Katsir, Al-Fatihah adalah bagian dari wahyu khusus yang dianugerahkan kepada Nabi Muhammad SAW dan tidak diberikan kepada nabi sebelumnya dalam bentuk yang sama. Ini menunjukkan kemuliaan dan kelengkapan makna yang terkandung di dalamnya, yang mencakup seluruh spektrum hubungan antara pencipta dan ciptaan-Nya.
Ibnu Katsir membahas panjang lebar mengenai status Basmalah. Beliau mengutip pandangan mayoritas ulama bahwa Basmalah adalah ayat pembuka surah Al-Fatihah. Maknanya sangat mendalam: "Dengan nama Allah yang Maha Pengasih, lagi Maha Penyayang." Ini adalah pernyataan memulai segala urusan dengan memohon keberkahan dan pertolongan Allah. Asma Allah (Nama Allah) mengandung keagungan, Ar-Rahman (Maha Pengasih) dan Ar-Rahim (Maha Penyayang) menunjukkan sifat rahmat Allah yang luas, meliputi seluruh makhluk di dunia dan orang-orang beriman di akhirat.
"Segala puji hanyalah milik Allah, Tuhan semesta alam." Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Al-Hamd (pujian) di sini adalah pujian yang sempurna dan absolut. Pujian ini meliputi segala bentuk pujian atas kesempurnaan sifat-sifat Allah dan atas nikmat-nikmat-Nya. Rabbil 'Alamin (Tuhan Semesta Alam) menegaskan bahwa Allah adalah Pencipta, Pemelihara, dan Penguasa segala sesuatu—mulai dari manusia, jin, malaikat, hingga alam materi dan non-materi. Pengakuan ini memantapkan tauhid rububiyah.
"Maha Pengasih, Maha Penyayang." Ayat ini menguatkan dua sifat Allah yang telah disebutkan dalam Basmalah. Ibnu Katsir menggarisbawahi perbedaan antara Ar-Rahman dan Ar-Rahim: Ar-Rahman sifat kasih sayang-Nya bersifat umum kepada seluruh makhluk di dunia, sedangkan Ar-Rahim sifat kasih sayang-Nya yang sangat khusus dicurahkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman di akhirat.
"Raja (Pemilik) Hari Pembalasan." Ayat ini menekankan kedaulatan mutlak Allah di Hari Kiamat. Ibnu Katsir mengutip riwayat yang menyatakan bahwa sebagian ulama membacanya dengan "Maliki" (Raja) dan sebagian lagi dengan "Maaliki" (Pemilik). Keduanya mengarah pada makna yang sama: hanya Allah yang berhak menghakimi dan memberi balasan atas segala amal perbuatan manusia pada hari perhitungan kelak.
"Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan." Ini adalah inti dari peribadatan (Ubudiyah). Ibnu Katsir menyoroti pentingnya penekanan "Iyyaka" (hanya kepada-Mu) yang diletakkan di depan, sebagai bentuk pengkhususan ibadah dan permohonan pertolongan (Isti’anah) hanya kepada Allah semata, meniadakan segala bentuk kesyirikan. Ini adalah pengakuan bahwa tiada daya dan upaya kecuali dari-Nya.
"Tunjukkanlah kami kepada jalan yang lurus." Setelah memuji Allah dan menyatakan pengabdian, seorang hamba harus memohon petunjuk. Ibnu Katsir menjelaskan bahwa jalan yang lurus (Ash-Shirat Al-Mustaqim) adalah jalan yang ditempuh oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya, yaitu jalan yang sesuai dengan Al-Qur'an dan Sunnah. Permohonan ini adalah permintaan agar Allah menjauhkan dari kesesatan.
"Yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahi nikmat kepada mereka; bukan jalan orang-orang yang dimurkai dan bukan (pula) jalan orang-orang yang sesat." Ayat penutup ini membagi manusia menjadi tiga golongan: (1) Orang yang diberi nikmat (An'amta 'alaihim), yaitu para nabi, shiddiqin, syuhada, dan shalihin; (2) Orang yang dimurkai (Al-Maghdubi 'alaihim), yang merujuk pada orang-orang yang mengetahui kebenaran tetapi meninggalkannya (Yahudi menurut tafsiran umum); dan (3) Orang yang sesat (Adh-Dhallin), yaitu mereka yang beribadah tanpa ilmu (Nasrani menurut tafsiran umum). Permohonan dalam ayat ini adalah agar kita terhindar dari nasib dua golongan terakhir tersebut.