Surat Al-Fatihah, sering disebut sebagai Ummul Kitab (Induk Al-Qur'an) atau Ummul Qur'an, adalah surat yang sangat fundamental dalam Islam. Kedudukannya yang istimewa membuatnya wajib dibaca dalam setiap rakaat shalat. Salah satu penafsiran mendalam mengenai ayat-ayatnya dapat ditemukan dalam karya monumental Syekh Ahmad Mustafa Al-Maraghi, seorang ulama besar dan pakar tafsir asal Mesir. Tafsir Al-Maraghi dikenal karena pendekatannya yang modern, ilmiah, dan kontekstual, menggabungkan aspek bahasa Arab klasik dengan pemahaman relevan pada zamannya.
Pentingnya Surat Al-Fatihah Menurut Al-Maraghi
Menurut Al-Maraghi, Al-Fatihah bukan sekadar bacaan formalistik dalam shalat. Ia adalah inti dari tauhid dan manifestasi hubungan antara hamba dengan Tuhannya. Tafsir ini menekankan bahwa setiap kata dalam surat ini memiliki bobot spiritual dan teologis yang besar. Al-Maraghi memandang surat ini sebagai ringkasan komprehensif dari ajaran Islam, mencakup pujian, pengakuan keesaan Allah, permohonan pertolongan, dan doa petunjuk.
Analisis Ayat per Ayat dalam Tafsir Al-Maraghi
1. Bismillahir Rahmanir Rahim (Dengan Nama Allah, Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang)
Al-Maraghi menjelaskan bahwa memulai segala urusan dengan "Bismillah" adalah penegasan bahwa segala sesuatu harus bersumber dan bermuara pada kehendak Allah. Aspek Ar-Rahman (Maha Pengasih) dan Ar-Rahim (Maha Penyayang) menunjukkan keluasan rahmat Allah yang mencakup seluruh makhluk, baik di dunia maupun akhirat. Ini adalah pengingat bahwa Allah memberikan nikmat-Nya tanpa memandang iman atau kekafiran (Rahman), dan secara khusus memberikan rahmat kepada orang-orang yang beriman (Rahim).
2. Alhamdulillahi Rabbil 'Alamin (Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam)
Ayat ini mengawali pujian universal. Al-Maraghi menyoroti bahwa pujian (Alhamdulillah) harus ditujukan hanya kepada Allah, karena Dialah satu-satunya yang berhak dipuji atas segala kesempurnaan dan nikmat yang ada. Kata Rabbil 'Alamin (Tuhan semesta alam) menegaskan otoritas tunggal Allah atas seluruh ciptaan—mulai dari atom terkecil hingga galaksi terbesar—menguatkan konsep tauhid rububiyah.
3. Ar-Rahmanir Rahim (Maha Pengasih, Maha Penyayang)
Pengulangan sifat kasih sayang ini, setelah penyebutan ketuhanan, menekankan bahwa sifat utama Allah yang paling dominan adalah rahmat-Nya. Dalam tafsirnya, Al-Maraghi melihat ini sebagai jaminan bahwa meskipun Allah Maha Kuasa dan Maha Adil, Dia selalu mendahului dengan belas kasihan-Nya sebelum menuntut pertanggungjawaban.
4. Maliki Yaumiddin (Pemilik Hari Pembalasan)
Ayat ini mengalihkan fokus dari sifat-sifat Allah di dunia menuju kekuasaan absolut-Nya di akhirat. Al-Maraghi menekankan bahwa di Hari Kiamat, tidak ada lagi kekuasaan selain milik Allah. Ini berfungsi sebagai peringatan keras bagi mereka yang menyekutukan Allah atau berbuat zalim di dunia, bahwa keadilan mutlak akan ditegakkan.
5. Iyyaka Na'budu Wa Iyyaka Nasta'in (Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan)
Ini adalah puncak pengakuan tauhid uluhiyah (pengesaan dalam ibadah). Al-Maraghi menjelaskan bahwa penggunaan kata Iyyaka (Hanya kepada-Mu) di awal kalimat adalah bentuk penekanan (al-qashr) yang sangat kuat dalam bahasa Arab. Menyembah dan memohon pertolongan hanya boleh ditujukan kepada Allah, menolak segala bentuk perantaraan atau penyembahan kepada selain-Nya. Ini adalah pernyataan loyalitas total seorang hamba.
6. Ihdinas Siratal Mustaqim (Tunjukilah kami pada jalan yang lurus)
Setelah menyatakan ibadah dan permohonan pertolongan, seorang hamba memohon petunjuk. Al-Maraghi mengartikan Siratal Mustaqim bukan hanya sebagai jalan kebenaran secara umum, tetapi secara spesifik merujuk pada jalan yang ditempuh oleh para nabi dan para shalihin. Permohonan ini menunjukkan kerendahan hati bahwa manusia tidak akan mampu menempuh kebenaran tanpa bimbingan Ilahi.
7. Shiratal Ladzina An'amta 'Alaihim, Ghairil Maghdubi 'Alaihim Waladdallin (Yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahi nikmat kepada mereka, bukan jalan mereka yang dimurkai dan bukan pula jalan mereka yang tersesat)
Ayat penutup ini memberikan definisi konkret mengenai jalan lurus. Al-Maraghi mengaitkan mereka yang dianugerahi nikmat (seperti para nabi dan siddiqin) dengan mereka yang mendapatkan ilmu dan mengamalkannya. Sebaliknya, "yang dimurkai" adalah mereka yang mengetahui kebenaran namun menolaknya (seperti Yahudi menurut tafsir klasik), dan "yang tersesat" adalah mereka yang beribadah tanpa ilmu (seperti Nashrani menurut tafsir klasik). Surat ditutup dengan harapan agar pembaca senantiasa berada di jalur kebenaran yang jelas dan terhindar dari penyimpangan.
Secara keseluruhan, Tafsir Al-Maraghi mengenai Al-Fatihah menggarisbawahi bahwa surat ini adalah fondasi spiritual. Dengan memahami maknanya secara mendalam, seorang muslim dapat menyempurnakan shalatnya, karena shalat tersebut telah menjadi dialog penuh makna antara dirinya dengan Penciptanya.