Al-Qur'an menyimpan banyak sekali ayat dan surat yang menggunakan fenomena alam semesta sebagai media perenungan mendalam mengenai hakikat kehidupan, moralitas, dan pertanggungjawaban akhirat. Di antara ayat-ayat yang paling kuat dalam menarik perhatian kita pada dualitas eksistensi adalah Surat Al-Lail (Malam Hari) dan Surat Asy-Syams (Matahari). Kedua surat pendek di Juz 'Amma ini dibuka dengan sumpah-sumpah agung Allah SWT, menetapkan panggung kosmik tempat drama perilaku manusia dipertunjukkan.
Surat Al-Lail, yang berarti 'Malam', dimulai dengan sumpah: "Demi malam apabila ia menyelimuti, dan demi siang apabila ia menampakkan diri." (QS. Al-Lail: 1-2). Sumpah ini segera mengarahkan fokus kita pada kontras esensial: malam melambangkan ketenangan, kerahasiaan, atau terkadang kegelapan batin dan kebingungan moral. Dalam kegelapan malam, seringkali ujian sejati seseorang terungkap, terutama ketika tidak ada mata manusia yang mengawasi.
Ayat-ayat berikutnya dalam Al-Lail menyoroti perbedaan nasib manusia berdasarkan pilihan mereka. Allah bersumpah bahwa usaha dan amal perbuatan manusia itu berbeda-beda. Ada yang bersedekah dan bertakwa, yang kemudian akan dimudahkan jalannya menuju kebahagiaan (Al-Husna). Sebaliknya, mereka yang kikir dan merasa cukup tanpa merasa butuh kepada Tuhannya, akan dimudahkan jalannya menuju kesengsaraan (Al-Husra). Pergumulan antara sifat dermawan (infaq) dan kekikiran adalah inti dari ujian yang terjadi di bawah selimut malam. Ini adalah panggilan untuk introspeksi diri dalam kesunyian, menilai apakah langkah kita selama ini menuju kebaikan atau justru menjauhinya.
Jika Al-Lail membawa kita ke dalam ketenangan dan ujian tersembunyi, Surat Asy-Syams (Matahari) menawarkan kebalikan yang dramatis: pencerahan total. Surat ini dibuka dengan rentetan sumpah yang jauh lebih panjang: "Demi matahari dan cahayanya di pagi hari, dan bulan apabila ia mengiringinya, dan siang apabila ia menampakkannya, dan malam apabila ia menutupinya, dan langit serta yang membangunnya, dan bumi serta yang menghamparkannya, dan jiwa serta penyempurnaan (ciptaan) nya..." (QS. Asy-Syams: 1-7).
Rangkaian sumpah ini menegaskan kekuasaan mutlak Allah atas seluruh tata surya—sesuatu yang tampak abadi dan tidak berubah. Setelah menegaskan kekuasaan-Nya atas kosmos, perhatian diarahkan kembali kepada manusia. Kunci utama dalam surat ini adalah ayat 8 dan 9: "Maka Dia mengilhamkan kepadanya (jiwanya) keburukan dan ketakwaannya. Sungguh beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya."
Asy-Syams mengajarkan bahwa manusia dianugerahi kemampuan bawaan (fitrah) untuk membedakan antara baik dan buruk. Tugas utama manusia bukanlah mencari kebenaran di luar, melainkan membersihkan dan menyucikan hati (jiwa) dari noda kezaliman dan kekikiran. Ini adalah deklarasi bahwa keselamatan spiritual terletak pada kesediaan jiwa untuk menerima petunjuk ilahi dan memilih jalan takwa di bawah terangnya kebenaran.
Meskipun Al-Lail menekankan konsekuensi dari amal perbuatan dan Asy-Syams menekankan penyucian jiwa, keduanya berbicara tentang satu hal yang sama: pilihan moral yang menentukan takdir abadi. Malam melambangkan kondisi spiritual yang gelap jika kita berpaling dari kebenaran, sementara matahari melambangkan cahaya hidayah yang selalu tersedia bagi mereka yang mau membersihkan hati.
Perenungan kedua surat ini mengajarkan kita untuk menjalani hidup dengan kesadaran penuh. Ketika gelap (kesulitan, godaan, atau kesendirian) datang, kita diuji apakah kita akan menjadi kikir dan sombong seperti yang disinggung dalam Al-Lail, ataukah kita menggunakan waktu itu untuk muhasabah, mempersiapkan diri menyambut cahaya kebenaran (Asy-Syams). Keseimbangan antara tindakan nyata (Al-Lail) dan pembersihan niat (Asy-Syams) adalah formula menuju kebahagiaan sejati, yang dijanjikan bagi jiwa yang berhasil menyucikan dirinya dari keserakahan duniawi. Kedua surat ini adalah pengingat abadi bahwa semesta raya bersaksi atas setiap keputusan yang kita ambil.